Agama dan politik itu “intertwine”

JAKARTA (iHalal.id) — Agama dan politik itu “intertwine”. Namun jangan disamakan, apalagi jika agama dan ulama (hanya) dijadikan alat untuk kepentingan politik.  “Sekarang isu-sisu politik terlalu dominan dalam kehidupan kita. Semuanya dipolitisir, mulai urusan ekonomi hingga agama. Seolah semuanya terkait politik. Emosi warga pun masih tinggi. Jadi kita harus calm down dulu,” ujarnya.

Hal itu diuatarakan Imam Shamsi Ali, kemarin (16/8) di Jakarta. Namun, jelas Direktur Jamaica Muslim Center, New York ini, agama dan politik adalah dua entitas yang berbeda. Tapi bukan berarti harus dipisahkan secara tegas seperti di dunia barat.

“Karena negara kita meski bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler. Memang terkadang ada garis pembatas yang samar antara agama dan politik ini,” paparnya.

Mungkin yang harus diantisipasi, ingat lulusan S-1 dan S-2 di Pakistan ini, agama tidak boleh dijual murah untuk kepentingan tertentu. Kecuali hanya untuk kekuatan moral, mengajarkan kejujuran, sopan dan santun, tidak memfitnah orang, dan tidak menyebar hoax.

Tapi, ingat Imam Islamic Center New York ini, juga tidak bisa dikatakan, agama tidak penting dalam kepentingan publik. Karena di Amerika pun hal ini menurutnya jadi dilema. Ketika Amerika menganggap agama harus terpisah di ruang publik, ternyata tidak bisa.

“Misalnya, ketika bicara soal jaminan kesehatan, ternyata ada masalah aborsi di sana, yang terkait masalah agama. Akhirnya, pasti ada sentuhan agama. Yang salah, bila agama dan ulama dijadikan alat,” ingatnya lagi.

Pria kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan ini merupakan salah satu tokoh Muslim terkemuka di Amerika Serikat. Beragam penghargaan telah diterima Syamsi, yang sudah bermukim di Negeri Abang Sam selama 22 tahun ini. Salah satunya, Penghargaan Medal of Honor Award Ellis Island pada 2009 lalu.

Medali emas non militer yang bergengsi ini adalah salah satu penghargaan tertinggi yang diakui pemerintah AS bagi warga negara AS yang lahir dan dinaturalisasi dengan kontribusi luar biasa untuk masyarakat Amerika dan dunia. Bagi Diaspora Indonesia di Kota New York ini, medali itu dia raih atas dedikasinya dalam membangun jembatan dialog antara agama.

Terkait dua pasangan calon presiden dan wakilnya, lanjut Syamsi, sebelumnya dia sudah merilis statemen kecil, bahwa mereka adalah putra-putra terbaik bangsa, sehingga rakyat bebas memilih. “Mari saling menghormati, lakukan kompetisi politik dalam rangka kompetisi dalam kebaikan,” pintanya.

Namun yang paling penting, jelas pendiri Pondok Pesantren pertama di Amerika ini, semua harus belajar melihat, di mana realita kebutuhan kita sebagai bangsa. Termasuk siapa yang paling sesuai mewakili kita dalam upaya membangun bangsa ini, agar lebih baik lagi ke depannya.

Di antara sederet penghargaan dan pencapaian lainnya yang pernah diraih Syamsi adalah, diangkat sebagai “Duta Besar untuk Perdamaian” oleh Federasi Keagamaan Internasional pada tahun 2002, dan penerima Penghargaan Interfaith ICLI (Islamic Center of Long Island 2008). Pada tahun 2006, ia dinobatkan sebagai salah satu dari 7 pemimpin agama paling berpengaruh di New York City oleh New York Magazine.

Pada 18 September 2010, Syamsi dianugerahi Hall of Fame Award oleh AACUSA (Asian American Coalition USA) Inc. Penghargaan ini demi Syamsi sebagai salah satu dari tujuh individu yang menonjol dalam komunitas Asia mereka masing-masing.

Menurut Dr. Parveen C. Chopra dari AACUSA, Shamsi Ali telah mencapai seluruh divisi dan mewakili suara umat Islam di berbagai forum, seperti di PBB, gereja, sinagog, NYPD, FBI hingga kantor-kantor berita seperti ABC, PBS , BBC World, CNN, Fox News, National Geographic, Al-Jazeera, dan Channel Hallmark.

Pada 2009, 2010, dan 2011, ia juga terpilih sebagai salah satu dari 500 Muslim Paling Berpengaruh di dunia oleh Pusat Studi Strategis Kerajaan Islam di Yordania dan Georgetown University.

Pada April 2014, senat NY mendorong dia menjadi penerima Turkish Cultural Center’s Friendship Award (Penghargaan Persahabatan Pusat Kebudayaan Turki), yang diterimanya bersama dengan Rabbi Marc Schneier. (Gaf)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *