Belajar dari pemilihan Ketua Kongress Amerika

Oleh: Shamsi Ali*

Amerika baru saja melangsungkan pemilihan anggota legislator (Kongress) untuk dua tahun ke depan. Mungkin semua tahu bahwa masa jabatan anggota Kongress Amerika itu hanya dua tahun. Setelah itu diadakan pemilihan lagi. Sehingga setiap dua tahun seorang anggota Kongres terancam untuk kehilangan posisi jika gagal menjalankan amanah konstituennya.

Berbeda dengan Senate. Setiap anggota senate (senator) menjabat selama empat tahun sebagaimana jabatan Presiden/Wakil Presiden. Jabatan Senator memang lebih prestigious ketimbang Kongress. Walaupun Kongress identik sebagai penyeimbang utama kekuasaan eksekutif (Presiden/Wakil Presiden) di Amerika Serikat.

Dalam pemilihan anggota Kongress baru-baru ini terjadi perubahan komposisi keanggotaan dari yang tadinya dikuasai oleh partai Democrat menjadi Republicans majority. Sehingga dengan sendirinya terjadi perubahan Pimpinan Kongres dari Democrat (Nancy Pelosi) ke Republican (Kevin McCarthy). Ketua Kongres di Amerika bergelar “US Speaker of the House”.

Yang ingin saya sampaikan kali ini adalah proses pemilihan ketua Kongres yang baru ini, Kevin McCarthy, yang berlangsung selama 3 hari ini. Saya tertarik menuliskannya karena proses ini menjadi catatan sejarah tersendiri. Inilah proses pemilihan ketua Kongres Amerika yang terlama selama kurang lebih 160 tahun sejarah negara adidaya ini.

Panjangnya proses pemilihan ini karena calon ketua dari Republikan itu tidak berhasil mendapatkan suara minimal, yaitu 218 dari total 222 anggota Kongres dari Partai Republikan. Ada sekitar 6-8 orang anggota Kongres yang merupakan loyalis Donald Trump sengaja menghalangi calon yang merupakan anggota Kongres dari negara bagian California itu.

Yang menarik dari proses ini adalah bagaimana loyalis Donald Trump itu dengan tanpa malu-malu mempermainkan sebuah institusi terhormat demi mendapatkan recognisi (pengakuan) dari publik. Tapi yang lebih disayangkan lagi 6-8 orang ini menyandera proses pemilihan ketua kongres karena berambisi menduduki posisi-posisi sebagai ketua komisi di badan legislasi terhormat itu.

Kevin McCarthy bukan orang sembarangan di kongres. Dia adalah anggota senior Kongres dan pada periode lalu terpilih secara aklamasi untuk menjadi Pimpinan oposisi (minority leader) di Kongres. Bahkan pada momen-momen krusial di bawah tekanan Trump, McCarthy telah memainkan peranan penting dan cerdik.

Sebagai politisi tentu McCarthy pintar bermain dua kaki. Tapi satu hal yang menjadi komitmen yang tak tergoyahkan adalah komitmen untuk negara dan rakyat. Inilah salah satu alasan kenapa loyalis Donald Trump berusaha sekuat tenaga untuk menggagalkannya menduduki posisi Ketua Kongres Amerika. Karena ambisi mereka adalah kepentingan pribadi dan kelompok.

Dari semua hiruk pikuk dan kehebohan proses pemilihan Ketua Kongress kali ini barangkali hal yang paling penting untuk diambil sebagai pelajaran adalah keterbukaan dan kejujuran dalam berdemokrasi. Kejujuran yang kita maksud adalah bahwa praktek demokrasi itu bukan pada tataran pengakuan. Tapi ada pada tataran prilaku dan pembuktian, walau itu mungkin terasa pahit.

Jangan sampai seperti yang terjadi pada dunia lain. Di mana pengakuan demokrasi besar tapi yang sering terjadi adalah persekongkolan sekelompok untuk meloloskan kepentingan sempit kelompok, atau kepentingan pihak-pihak tertentu yang punya “hidden authority” (otoritas di balik layar).

Keterbukaan dan kejujuran yang ditampilkan dalam proses pemilihan Ketua Kongres Amerika telah menjadi contoh yang baik dalam proses sekaligus pertanggung jawaban demokrasi kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Proses panjang dan mungkin terasa pahit bagi sebagian itu mungkin melelahkan. Kevin McCarthy gagal memenangkan pemilihan itu dalam 14 kali pemungutan suara selama tiga hari. Tapi proses demokrasi memang proses yang matang dan bermutu.

Jangan sampai seperti yang biasa terjadi di belahan dunia lain. Selain kesepakatan di balik layar yang tidak jarang terjadi dengan “pemaksaan halus”, juga keputusan-keputusan serasa dipaksakan. Mereka yang menentang, bahkan sekedar ingin menyampaikan pendapat ruang geraknya diperkecil. Bahkan dengan mematikan microphone sekalipun.

Keterbukaan dan kejujuran menjadi Karakter demokrasi. Dan jika anda ragu dengan keterbukaan dan kejujuran itu, jangan “ngaku-ngaku” paling demokrasi. Jangan-Jangan anda adalah diktator yang bersembunyi di balik pengakuan demokrasi….Semoga tidak!

Jamaica City, 7 December 2023

  • Diaspora Indonesia di kota Dunia, NYC.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *