JAKARTA (iHalal.id) — Keberadaan Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) memang menjadi kebanggaan tersendiri bagi rakyat Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbesar dunia. Namun, sejak diundangkan 4 tahun yang lalu, sosialisasi Undang-Undang yang diharapkan jadi pedoman umat Islam Indonesia tadi, dirasa masih kurang. Padahal, tahun depan UU Halal tadi harus segera diberlakukan dengan panduan peraturan pendukung (PP—red.) dari Kementerian Agama.
Lambannya PP sangat disayangkan berbagai pihak, antara lain datang dari YPHI (Yayasan Produk Halal Indoensia). Ketua umum YPHI Dr. Muhammad Yanis Musdja, M.Sc, yang juga pengajar di Universitas Islam Negeri Jakarta menyesalkan belum adanya PP Halal tadi, karena akan menimbulkan kekahawatiran dikalangan pengusaha, khususnya usaha kecil dan menengah. Mereka umumnya menanyakan berapa biaya yang harus ditanggung oleh pelaku industri, jika UU baru tadi diberlakukan. Yang jelas, menurut Yanis, biaya sertifikasi tidak boleh mahal atau memberatkan.
“Biaya pembuatan sertifikasi tidak boleh mahal dong. Sekarang peraturan pemerintah (PP) juga sudah disusun, sudah ada draftnya, diharapkan awal tahun ini sudah bisa diterbitkan, karena tinggal satu paraf lagi dari kementerian,” ujar Yanis kepada redaksi iHalal.id Kamis (27/12). Ditambahkan, untuk biaya mungkin akan berbeda-beda ditiap daerah.
“Pengusaha besar beda, pengusaha menengah beda, pengusaha kecil beda, nah, ini yang menentukan berapa biayanya ialah dari Kemenkeu, yang penting tentu tidak boleh membuat LPH bangkrut,” jelas Yanis yang juga menjabat wakil ketua ICMI DKI Jakarta ini.
Sementara yang menjadi lembaga pemeriksa halal (LPH), bisa dari lembaga Islam seperti Muhamadyah, NU, HMI, FORHATI, Pemerintah, atau juga dari kalangan Perguruan Tinggi.
“Jadi setiap LPH boleh memiliki usaha. Mereka tidak boleh terus rugi, jangan juga seperti itu, jadi LPH harus tetap bisa hidup dari biaya operasional tadi,” ujar Yanis, sambil menambahkan LPH juga jangan melupakan misi sosialnya juga. (Gaf)