Catatan Ramadhan (Hari – 12); “Puasa Ramadan itu Pengakuan Otoritas Ilahi”

oleh: Imam Shamsi Ali*

Salah satu kekeliruan besar manusia adalah perasaan kepemilikan (ownership) dalam hidup. Padahl sejatinya segala sesuatu dalam hidup duniawi kita bersifat amanah (titipan). Titipan, bukan kepemilikan.

Oleh karena itu bagi orang beriman, hidup ini di satu sisi tidak boleh diakui. Namun di sisi lain harus dipekihara dan dijaga baik-baik.

Ungkapan Al-Quran: “inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun” (kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya kepadaNyalan kami kembali) bukan sekedar ungkapan kesedihan di saat ada musibah atau kematian. Tapi sesungguhnya adalah filsafat hidup. Bahkan fondasi dan wawasan (world view) hidup itu sendiri.

Alam semesta dan segala isinya, semuanya ada dalam milik Allah SWT. Dan dengan sendirinya semuanya berada di bawah otoritas (kekuasaan) Allah.

Ayat-ayat dalam Al-Quran seperti: “bagi Allah segala yang di langit dan di bumi” atau “bagi Allah kerajaan langit dan bumi” berulang kali diungkap dalam Al-Quran.

Merupakan penegasan bahwa “al-mulk” (kerajaan) dan “al-milkiyah” (kepemilikan) untuk Allah adalah bagian dari akidah tauhid kita.

Yaitu meyakink bahwa kepemilikan absolut dan otoritas tunggal yang sejati adalah Allah. Selainnya adalah pinjaman dan bersifat semu.

Kekeliruan dalam memahami “tauhid milkiyah” atau ketauhidan dalam hal kepemilikan ini menimbulkan konsekwensi-konsekwensi negatif dalam kehidupan.

Ketika kita masih berada di pihak yang menguntungkan, sedang di atas angin, seseorang biasanya membusungkan dada. Seolah semua yang ada pada dirinya adalah “miliknya”.

Akibatnya mereka yang belum beruntung di sekitarnya dipandang rendah. Di sisi lain bahkan membangun karakter kekikiran (greed) yang luar biasa.

Ini yang pernah terjadi kepada orang kaya seperti Qarun. Kekayaannya diakui sebagai kepemilikannya, dan dihasilkan karena skill atau kemampuan yang dimilikinya (ilmun ‘indii).

Sebaliknya, jika hal yang terjadi adalah ketidak beruntungan (unfortunate), seseorang itu akan merasakan kepedihan berlebihan. Bahkan menumbuhkan amarah, jika tidak pada orang lain, akan marah pada dirinya sendiri.

Di sinilah seringkali membawa kepada tindakan fatal, termasuk membinasakan diri sendiri (bunuh diri).

Konon kabarnya tingkat bunuh diri tertinggi terjadi di kalangan orang-orang yang justeru secara ilmu dan teknologi dan harta lebih maju. Jepang dan Korea misalnya adalah negara-negara dengan tingkat bunuh diri yang relatif tinggi.

Di Amerika juga permasalahan mentalitas (mental problem) justeru galibnya terjadi di kalangan mereka yang kaya, populer, dan diasumsikan pintar. Tidak mengejutkan jika penghuni Hollywood misalnya adalah orang-orang yang sering keluar masuk fasilitas rehabilitasi mental.

Di sinilah puasa memainkan peranan krusial dalam menetralisir kemungkinan penyakit “perasaan memilki” itu. Puasa menanamkan pada pelakunya untuk menyadari bahwa di atas dirinya ada “Pemilik Mutlak” atau Pemilik sejati”.

Dialah yang mencipta, menguasasi, merajai dan punya kuasa untuk mengatur dalam segalanya.

“Maha Suci Yang ditangannya terletak kekuasaan, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu” (Al-Mulk).

Artinya Allah itu tidak saja memilki. Tapi memilki kekuasaan atas kepemilikan itu. Sebab ada orang yang (merasa) memiliki tapi tidak punya kuasa atas kepemilikanya.

Mari kita bekajar dari sepasang suami isteri sahabat Rasulullah SAW, yang sangat miskin, dengan seorang anak yang masih kecil. Seolah dalam hidup mereka tak ada lagi kegembiraan selain sang anak itu.

Tiba-Tiba suatu ketika sang anak jatuh sakit keras. Penyakit yang hanya akan sembuh dengan kepasrahan. Tiada dokter, tiada obat-obatan. Apalagi mereka adalah keluarga miskin.

Di pagi hari sang suami bergegas pergi meninggalkan sang isteri dan anaknya yang tergeletak sakit keras untuk mencari sesuap nasi untuk keluarganya. Tiba-tiba Allah mentakdirkan sang anak tercinta itu harus kembali menghadapNya. Sang anak yang masih kecil itu meninggal dunia.

Isteri sahabat itu dengan hati sedih memandikan jenazah anaknya, lalu menutupi tubuhnya dengan kain dengan sangat rapih. Dan diletakkan sang anak yang terbungkus rapih itu di sudut ruang di rumahnya.

Pada malam hari sang ayah kembali di rumah, lalu bertanya ke isterinya perihal keadaan anaknya. Isterinya memberitahu bahwa anaknya kini telah tenang dan istirahat.

Sahabat itu merasa senang mendengarkan informasi isterinya jika anaknya kini tenang dan istiharat. Disangkanya anaknya kini telah pulih dan istirahat. Maka malam itu terjadi hubungan dengan isterinya.

Sebelum subuh mereka berdua bangkit untuk sholat malam sebelum Fajar tiba. Tiba-tiba sang sahabat itu bertanya pada isterinya, kenapa anak mereka belum pernah kedengaran suaranya?

Dengan sedih tapi sangat tenang sang isteri bertanya kepada suaminya: “jika kita dititipi oleh tetangga sesuatu, lalu masanya dia ingin ambil kembali, haruskah bagaimana?”.

Sang suami menjawab: “harusnya dikembalikan”.

Isteri itupun menyampaikan kepada suaminya bahwa anak mereka adalah titipan Allah. Dan Pemiliknya kini telah mengambilhya kembali.

Mendengar itu sang suami tidak terima. Beliau merasa isterinya kurang jujur atau minimal tidak terbuka pada dirinya.

Di subuh hari beliau melaporkan hal itu kepada Rasulullah SAW, bahkan secara jujur juga menyampaikan bahwa malam itu juga telah terjadi hubungan dengan isterinya.

Rasulullah SAW memberikan motivasi dengan sabdanya: “Allah akan menggantikan untuk kamu yang lebih banyak dan lebih baik”.

Menurut riwayat, dari sahabat dan isterinya inilah di kemudian hari terlahir beberapa ulama besar di kalangan thobi’in (generasi kedua) setelah sahabat-sahabat Rasulullah SAW.

Puasa melatih kita untuk menyadari semua titipan yang kerap diakui sebagai milik kita.

Kerap kali tanpa disadari terjadi arogansi kepemilikan. Padahal semua itu hanyalah titipan untuk dijaga sesuai dengan pesan Pemiliknya.

Makanan, minumanmu, dan segala kenikmatan duniamu, jika Yang memiliki melarangmu untuk menyentuhnya jangan disentuh.

Itulah pesan puasa. Latihan kesadaran akan kepemilikan Allah yang bersifat mutlak.

Orang bijak menasehati: “sikapilah dunia ini bagaikan tukang parkir”. Jika dititipi mobil-mobil mewah yang banyak dia akan menjaga sebaik-baiknya. Tapi dia juga tidak akan mengakui sebagai miliknya. Dan jika masanya yang punya mengambil mobil itu, dia juga tidak bersedih.

Demikianlah dunia dan segala isinya ini. Semuanya adalah titipan sang Pencipta untuk dijaga sebaik-baiknya. Dan pada masanya akan diambil kembali.

Semoga kita sadar bahwa memang: “inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun” itu bukan sekedar “lip service”. Tapi keyakinan dan pandangan hidup sejati.

Dan Semoga puasa Ramadan menjadi momentum untuk membangun kesadaran itu. Amin!

Jamaica Hills, 16 Mei 2019

  • Presiden Nusantara Foundation, NY – USA.

(Keterangan foto: menuntun ikrar syahadah seorang muallaf Amerika di mushollah PBB New York sebelum menyampaikan khutbah Jumat).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *