Catatan Ramadhan (Hari – 16); “Puasa itu Menyuburkan Ruhiyah”


oleh: Imam Shamsi Ali*

“Mankind is a spiritual being in a physical body”.

Kalau seandainya saya ditanya tentang defenisi manusia maka jawaban saya kira-kira seperti di atas. Bahwa manusia itu adalah wujud spiritualitas dalam sebuah bentuk fisikal.

Intinya adalah bahwa nilai (value) sejati manusia itu ada pada posisi ruhiyahnya. Kemuliaan, kehormatannya ditentukan oleh nilai spiritualitasnya.

Kalau sekiranya manusia bangga karena fisiknya maka sudah pasti gajah, kerbau atau sapi pantas lebih bangga darinya. Kalau kekuatan fisiknya boleh jadi seekor harimau akan lebih bangga karena memang lebih kuat.

Karenanya sekali lagi, nilai kemanusian (human value) manusia ada pada aspek ruhiyah kehidupannya.

Jika penciptaan jasad manusia terbuat dari tanah liat (thiin). Maka eksistensi “ruh” manusia langsung dari tiupan ruh Ilahi (nafakha fii min ruhina).

Oleh karena ruh adalah tiupan ruh Ilahi maka ruh inilah yang nanti pada akhirhya kembali ke asalnya, kembali menghadap Allah SWT. Sementara fisiknya akan kembali pula bersatu dengan asalnya di tanah.

Jika fisik berakhir dengan kebusukan dan kehancuran, maka ruh yang yang terjaga, mulia selamanya.

Hakekatnya sebagai pemberian Allah yang khusus kepada manusia, menjadikan ruh rahasia yang tiada tahu kecuali Allah SWT sendiri. “Dan katakan sesungguhnya ruh itu adalah urusan Allah” (Al-Quran).

Sedemikian mulianya ruh manusia maka Islam sebagai agama kehidupan, elemennya mengandung aspek “spiritual nourishment” (makanan ruh). Dari ibadah-ibadah ritual hingga ke aspek-aspek muamalatnya, semuanya mengandung unsur ruhiyah.

Ketika akan makan atau tidur misalnya, doa yang dipanjatkan semuanya bermuara langit (Allah). Makan meminta “barokah”. Dan barokah itu ada di tangan Allah yang “Tabaaraka”.

Tidur juga atas namaNya Allah (bismika). Keduanya bukan sekedar aktifitas duniawi yang hampa ruhiyah. Tapi terikat dengan nilai-nilai samawi yang sarat dengan kandungan ruhiyah.

Jangankan makan dan tidur, hubungan suami isteri pun tidak lepas dari nilai-nilai ruhiyah itu. Sehinggga disebutkan bahwa hubungan yang tidak dimulai dengan doa perlindungan dari syetan akan dipengaruhi oleh syetan.

Bahkan Keluar masuk WC sekalipun semuanya memiliki nilai-nilai ruhiyah karena bersentuhan langsung dengan nilai-nilai samawi. Meminta perlindungan dari syetan “Allahumma inni auzdu bika minal khubutsi wal khabaaits” itu memiliki makna ruhiyah yang dalam.

Apalagi aspek ritual agama ini. Dari sholat, puasa, haji dan ragam bentuk ibadah ritual, semuanya secara mendasar dimaksudkan untuk menumbuh suburkan nilai-nilai ruhiyah manusia. Karena pada semua amalan itu “dzikirlah” yang menjadi esensi dasarnya.

Sholat yang kosong dari dzikir (mengingat Allah) dikategorikan oleh Al-Quran sebagai sholat kemunafikan. Bahkan terancam dengan neraka “wael”.

Puasa secara khusus penuh dengan nilai-nilai spiritualitas (ruhiyah). Makan sahur itu bukan sekedar makan pagi. Tapi sebuah amalan ibadah yang padanya dijanjikan “barokah”.

“Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu ada barokah” (hadits).

Barokah itu adalah nilai yang bersentuhan langsung dengan Allah (Tabaraka). Sehingga dengan sendirinya merupakan “penguatan ruh” yang memang langsung dari Allah (ruhina).

Singkatnya semua amalan yang terjadi di Bulan Ramadan, sholat-sholat sunnah, baca Al-Quran, Tarawih dan qiyaam, hingga kepada sadaqah dan bahkan tidur sekalipun bernilai spiritualitas.

Puasa diakhiri dengan berbuka puasa (Iftar). Sebuah amalan yang bukan sekedar makan malam seperti biasanya. Tapi semua amalan yang sarat dengan nilai ruhiyah.

Karenanya doa berbuka semuanya dikaitkan dikaitkan langsung dengan Ilahi: “untuk Engkau Aku berpuasa, kepadaMu aku beriman, dan dengan rezekiMu juga aku berbuka puasa. Maka terimalah dariku. Sunnguh Engkau Maha mendengar lagi Maha melihat”.

Karenanya bulan Ramadan ini harus menjadi momentum yang baik dalam membangun kehidupan ruhiyah yang solid. Kerapuhan nilai-nilai spiritualitas menjadikan manusia terombang-ambing dalam pergerakan gelombang dunia yang tiada akhir.

Kehidupan materialistis, konsumeris dan hedonistis menjadikan manusia semakin rakus dan kehilangan nuraninya. Akibatnya dalam dunia yang kerap kali diakui sebagai dunia modern yang lebih beradab (civilized) manusia justeru berkarakter biadab. Bahkan lebih biadab dari hewan.

“Mereka bagaikan hewan. Bahkan lebih sesaat dari hewan” (Al-Quran).

Semoga puasa kita menumbuh suburkan hati dan ruh kita sehingga dorongan dunia yang dahsyat ini mampu terimbangi. Keseimbangan dalam hidup materi (jasad) dan spiritualitas (ruh) inilah yang menjadikan Islam sebagia agama yang unik.

Agama yang membangun kebaikan pada dua aspek kehidupan. Hasanah fid-dunya wa hasanah fil-akhirah. Amin.

New York, 20 Mei 2019

  • Presiden Nusantara Foundation

(Picture: bersama Ketua masyarakat Muslim Long Island, Dr. Rehman. Beliau juga Ketua Asosiasi Dokter Muslim Se-kota New York)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *