DIRJEN HUBUD DORONG PINA UNTUK KEMBANGKAN BANDARA DAN BUKA KONEKTIVITAS NASIONAL

JAKARTA (iHalal.id) — Pembangunan infrastruktur penerbangan, khususnya bandar udara  yang selama ini dibayai oleh APBN harus tetap mengacu pada azas efektifitas fungsi pendanaan. Untuk itu bisa dilakukan dengan mekanisme PINA (Pembiayaan Infrastruktur non APBN) dengan berbagai skema pendanaan untuk pembangunan infrastruktur bandar udara ini.

Namun demikian, pembangunan infrastruktur melalui mekanisme PINA  khususnya dalam  penyelenggaraan bandar udara maupun pembangunan/ pengembangan bandar udara haruslah dilakukan secara prudent, adil dan proporsional. Tidak hanya difokuskan pada bandar udara yang memiliki target market strategis namun juga harus  dapat mengakomodir tujuan pemerintah dalam mengembangkan bandar udara  di  daerah  terjauh, terluar, terdalam, perbatasan negara dan rawan bencana.  Sehingga pembangunan transportasi udara  lebih merata dan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Demikian disampaikan oleh Dirjen Perhubungan Udara, Polana B. Pramesti, dalam arahannya kepada para peserta Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) 2018 di lingkungan Ditjen Perhubungan Udara pada hari ini, 7 Desember 2018 di Jakarta. Rakornis yang diikuti oleh segenap pejabat di lingkungan Ditjen Perhubungan Udara tersebut mengambil tema “Peningkatan Keselamatan dan Peran Serta Badan Usaha dalam Penyelenggaraan Transportasi Udara”.

“Seperti yang telah disampaikan  Menteri Perhubungan dalam sambutannya bahwa  kebijakan permerintah yang telah diambil saat ini terkait  dengan pembangunan  infrastruktur bandar udara  adalah dalam  upaya mengefektifkan fungsi pendanaan APBN dalam penyelenggaraan transportasi udara.  Untuk itu kami memberikan kesempatan pada pihak swasta dan BUMN  untuk terlibat dalam percepatan pembangunan infrastruktur dan membuka  konektifitas antar wilayah melalui mekanisme PINA dengan berbagai skema pendanaan. Dengan demikian diharapkan dapat memiliki nilai ekonomi dan sosial yang baik dan juga  memberi nilai tambah bagi negara,” ujar Polana.

Menurutnya, terkait pengusahaan bandara saat ini diperlukan regulasi yang lebih berpihak dan memberikan kepastian hukum bagi pihak swasta atau badan usaha sehingga dapat menarik minat untuk berinvestasi dalam penyelenggaraan transportasi udara.

“Banyak mekanisme Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha, namun masih diperlukan kajian terhadap 8 kriteria dari Peraturan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas No 4 Tahun 2015. Selain itu juga perlu adanya paramater atau pengukuran kinerja terkait bentuk kerjasama yang dinilai menguntungkan secara ekonomi dan sosial bagi Negara,” lanjut Polana.

Kajian tersebut terdiri dari kajian hukum dan kelembagaan; kajian teknis; kajian ekonomi dan komersial; kajian lingkungan dan sosial; kajian bentuk kerjasama dalam penyediaan
infrastruktur; kajian risiko; kajian kebutuhan Dukungan Pemerintah dan/atau Jaminan Pemerintah; dan kajian mengenai hal-hal yang perlu ditindaklanjuti.

Menurut Polana, Ditjen Hubud saat ini telah melakukan beberapa langkah-langkah pembangunan infrastruktur dengan bekerja sama dengan swasta dan BUMN. Salah satu contohnya, saat ini Ditjen Perhubungan sedang membuat pilot project Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) di Bandara Komodo, Labuan Bajo. Sesuai Peraturan Presiden No 38 Tahun 2015. Saat ini proyek KPBU Labuan Bajo sudah memasuki proses tender yang diikuti oleh 33 perusahaan dari 6 negara.

Selain itu juga dilakukan Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) beberapa bandara, yaitu Bandara Fatmawati Bengkulu, Bandara HAS Hanandjoedin Belitung, Bandara Radin Inten II Lampung dan Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya yang dilakukan KSP dengan PT Angkasa Pura 2. Serta Bandara Sentani Jayapura yang dilakukan KSP dengan PT Angkasa Pura 1. (Sat)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *