Oleh: Utteng Al-Kajangi*
Saat ini terjadi persamaan dekat antara Indonesia dan Amerika. Kedua negara besar ini sedang berada di musim politik untuk menentukan kepemimpinan negara dan bangsanya ke depan. Bagi Indonesia untuk lima tahun ke depan. Sementara bagi Amerika untuk empat tahun ke depan.
Kedua bangsa ini sedang panas-panasnya dalam menyongsong perhelatan akbar politik di negara masing-masing. Nampaknya hal ini bukan sesuatu yang kebetulan. Amerika dan Indonesia memang dalam banyak hal memiliki banyak kesamaan.
Di antara kesamaan itu adalah keduanya negara demokrasi besar dunia. Keduanya negara dengan penduduk terbesar ketiga dan keempat dunia. Dan tentunya keduanya adalah negara yang memiliki keragaman yang sangat tinggi. Yang beda ada pada tataran filosofi sosialnya. Amerika adalah negara sekuler. Sementara Indonesia adalah negara yang “wasotha”. Bukan negara agama. Tapi juga bukan negara sekuler. Sebutlah negara Pancasila.
Namun demikian, dengan segala kesamaan-kesamaan yang signifikan itu, ternyata keduanya juga memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan.
Di antara perbedaan itu adalah “the nature of their political support” atau tabiat dukungan politik yang diberikan kepada kandidat-kandidat politik (political candidates). Ada perbedaan yang mencolok dalam hal dukungan politik, baik pada tataran institusi (kolektif) maupun pada tataran individual (pilihan orang per orang).
Saya akan memberikan contoh terlebih dahulu bagaimana dukungan kepada salah satu calon dari Partai Republican, seorang mantan Presiden dan bisnisman Donald Trump. Dengan segala permasalahannya yang cukup kompleks, baik pada tataran pribadinya maupun tataran publiknya, Trump masih mendapatkan dukungan terbesar dari para pemilih partai Republikan.
Donald Trump secara terbuka merendahkan nilai-nilai moralitas. Hal yang tidak perlu saya beberkan lagi di sini. Donald Trump memberikan laporan bohong perpajakan. Tapi yang terheboh adalah bahwa Donald Trump berada di balik kekerasan pendukungnya menjelang pelantikan di Capitol Hills. Hingga saat ini sudah 93 tuduhan, baik secara sipil maupun kriminal. Bahkan telah divonis dan dipaksa menyerahkan diri ke sebuah penjara di Georgia 3 hari lalu. Namun dikeluarkan dengan jaminan uang $200 ribu.
Semua ini ini ternyata tidk mengurangi semangat pendukungnya. Bahkan kandidat Partai Republican lainnya, kecuali seorang keturunan India, sepakat untuk tampil seolah antitesi dari Trump. Namun ketika ditanya apakah akan mendukung Trump kelak melawan Biden jika memenangkan pencalonan partai Republican. Semuanya menyatakan akan mendukung kecuali Cris Christie (mantan Gubenur NJ) yang menyatakan akan menolak.
Pelajaran penting yang dapat diambil dari fenomena ini adalah betapa pendukung Donald Trump, termasuk institusi Partai Republican, memberikan dikungannya kepada Trump karena idealisme. Nilai-nilai conservatisme yang menjadi idealisme Republican menyatukan mereka menentang banyak kebijakan liberal Demokrat, baik di bidang sosial maupun ekonomi, bahkan militer. Oleh Republican semua itu tidak sejalan dengan norma “moral social (social morality) seperti pernikahan sejenis, dll. Kebijakan Demokrat juga dianggap pemborosan anggaran yang membenani negara. Termasuk perang Ukraine melawan Rusia.
Poin inilah yang saya maksud perbedaan mencolok antara Indonesia dan Amerika, ada perbedaan yang mencolok, dengan segala persamaan-persamaan yang ada. Jelas dukungan politik kepada Trump karena idealisme Komunitas putih Amerika (white Americans) untuk tetap menjaga Amerika sebagai negara yang “white dominant”. Bagian dari prilaku rasisme dan anti imigran, termasuk anti Islam.
Berbeda dengan sebagian di Indonesia secara umum. Pilihan atau dukungan biasanya bersifat pragmatis. Biasanya saya ekspresikan dengan “mengail udang di balik onggokan sampah”. Dukungan biasanya menjadi alat berburu kepentingan di musim politik. Termasuk orang per orang yang harapannya kejatuhan durian di musim politik ini.
Runyamnya lagi, dan ini yang kemudian sering mencelakakan kehidupan bangsa minimal lime tahun ke depan, bahkan dalam jangka panjang, adalah seringkali dukungan itu dicoba dipaksakan dengan argumentasi-argumentasi yang juga dipaksakan.
Salah satu contoh adalah ketika dukungan kepada kandidat tertentu dengan memakai alasan “konflik global” Yang sedang melanda dunia. Hal ini yang kemudian dijadikan alasan jika Indonesia perlu pemimpin yang kuat. Padahal kandidat yang Didukungnya adalah bagian dari pemerintahan, bahkan memegang posisi yang seharusnya ikut mengamankan dunia. Elaaaah, what he has done?
Argumentasi lain yang dipaksakan adalah karakter “rekonsiliator”. Argumen ini didasarkan kepada kenyataan (pahit) kalau kandidat yang didukung itu bergabung dengan pemerintahan kandidat yang pernah mengalahkannya dengan berdarah-darah.
Wele wele, justeru bergabungnya itu merupakan bukan nilai tambah yang membanggakan bagi (mantan) pendukungnya. Tapi marjinalisasi kepada kehidupan demokrasi dan kebangsaan. Pemerintahan demokratis perlu oposisi yang kuat. Kata “rekonsiliasi” itu hanya alasan untuk melarikan diri dari realita kekalahan dan tanggung jawab kenegaraan sebagai oposisi. Kalimat tegasnya bahkan bisa bentuk “pengkhianatan”.
Kerenanya dengan segala oposisi saya kepada Trump dan pengikutnya di Amerika saya kagum di sisi lain. Mereka berpegang kepada dan istiqamah dengan idealisme yang mereka yakini. Tenti sekaligus saya menyayangkan sebagian orang di Indonesia yang dalam dukungan politiknya mengedepankan sikap pragmatis dan opportunis…
NYC Subway, 29 Agustus 2023
- Putra Kajang di kota New York.