Habib Rizieq Shihab: Pancasila dan Piagam Jakarta Lahir 22 Juni 1945

JAKARTA (iHalal.id) — Markaz Syariah Jakarta menjadi saksi pelaksanaan seminar bertema “Kelahiran Pancasila” yang digelar oleh Front Persaudaraan Islam (FPI) pada Ahad 5 Dzulhijjah 1446 H/1 Juni 2025. Acara ini dipimpin oleh Imam Besar Habib Rizieq Shihab (IB HRS–red), dan dihadiri oleh sejumlah tokoh, termasuk narasumber Dr. Refly Harun, Dr. Ahmad Yani, H. Munarman SH., Dr. Adian Husaini, dan Dr. Abdul Khair Ramadan. Juga dihadiri musisi yang kini menjadi anggota parlemen Ahmad Dhani, ulama kondang Alfian Tanjung.

salah seorang jamaah yang hadir Husin Bages (kiri) memberikan pemberkatan kepada putra IB HRS yang kedelapan, bernama Abdullah bin Muhammad Rizieq Shihab (tampak digendong IB HRS), disaksikan pengusaha Ir. Fahmi Abdul Kadir Askar (tengah). Selain itu, Acara Akekah juga ditujukan untuk cucu IB HRS yakni Syarifah Sidah binti Husein Assegaf, serta seorang cucu yang meninggal dalam kandungan. (foto: iHalal.id).

Seminar ini tidak hanya membahas sejarah kelahiran Pancasila, tetapi juga menjadi momen perayaan akikah putra dan cucu Habib Rizieq, serta refleksi atas dinamika sejarah dasar negara Indonesia. Acara ini ditayangkan di channel YouTube Islamic Brotherhood Television.

Dalam pidato pembukanya, Habib Rizieq mengawali dengan pengumuman pribadi yang penuh syukur, yaitu akikah putranya yang kedelapan, bernama Abdullah, yang lahir pada hari Selasa dan telah dikhitan pada hari Kamis sebelumnya. Ia juga mengumumkan akikah untuk cucunya, Syarifah Sidah binti Husein Assegaf, serta seorang cucu yang meninggal dalam kandungan.

Mengacu pada mazhab Syafi’i, Habib Rizieq menjelaskan bahwa akikah tetap dilakukan untuk janin yang telah ditiupkan roh setelah usia kandungan lebih dari empat bulan, karena mereka akan dibangkitkan pada hari kiamat.

Acara ini turut dihadiri oleh keluarga besar Habib Rizieq, termasuk mertua, besan, dan kerabat seperti Habib Lukman Al Idrus, Habib Husein Al-Attas, Habib Taufik Al Idrus, Habib Muhdar Al Attas, dan lainnya. Kehadiran tamu istimewa dari Suriah, Syekh Muhammad Yusuf Khursyid, serta keluarga dari Palembang seperti Habib Fauzi dan Habib Yahya Al Idrus, turut menambah kemeriahan acara.

Refleksi Sejarah Kelahiran Pancasila

Habib Rizieq memulai seminar dengan mengajukan pertanyaan sentral: kapan sebenarnya Pancasila lahir? Ia memaparkan lima momen penting dalam sejarah yang sering dikaitkan dengan kelahiran Pancasila:

29 Mei 1945: Muhammad Yamin mengusulkan lima dasar negara dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang dikenal sebagai “Pancasila Yamin” (kebangsaan, kemanusiaan, ketuhanan, kerakyatan, kesejahteraan rakyat).

31 Mei 1945: Mr. Supomo mengusulkan “Pancadarma” (persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir-batin, musyawarah, keadilan rakyat).
1 Juni 1945: Soekarno memperkenalkan istilah “Pancasila” dengan lima sila (kebangsaan Indonesia, internasionalisme/perikemanusiaan, mufakat/demokrasi, kesejahteraan sosial, ketuhanan).
22 Juni 1945: Lahirnya Piagam Jakarta sebagai hasil kompromi Panitia Sembilan, yang memuat sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
18 Agustus 1945: Penetapan Pancasila dalam UUD 1945, dengan sila pertama diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” setelah menghapus tujuh kata terkait syariat Islam.

Habib Rizieq menegaskan bahwa ketiga usulan awal (Yamin, Supomo, Soekarno) hanyalah wacana dalam sidang BPUPKI dan belum menjadi keputusan resmi. Keputusan resmi baru lahir melalui Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, yang merupakan konsensus nasional para pendiri bangsa.

Piagam ini menjadi dasar negara saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun, sehari setelahnya, sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengubah sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” atas desakan Laksamana Maeda dari Jepang, yang menyampaikan keberatan dari masyarakat Indonesia Timur.

Kritik terhadap Perubahan Piagam Jakarta

Habib Rizieq menyebut perubahan sila pertama sebagai keputusan yang “singkat dan terburu-buru” dalam sidang PPKI yang hanya berlangsung beberapa jam. Ia menyoroti bahwa sidang tersebut tidak representatif karena tiga tokoh Islam kunci dari Panitia Sembilan—KH Wahid Hasyim, KH Abdul Kahar Mudzakir, dan KH Agus Salim—tidak hadir.

Menurutnya, perubahan ini menimbulkan “pertanyaan sejarah” yang hingga kini belum terjawab karena dokumen-dokumen terkait pidato tokoh Islam di BPUPKI belum sepenuhnya dipublikasikan.

Ia mengutip KH Muhammad Isa Anshari, yang menyebut perubahan ini sebagai “permainan sulap” yang diliputi “kabut rahasia”. Namun, umat Islam saat itu memilih diam demi menjaga kemerdekaan yang baru sehari diraih, menunjukkan sikap toleransi yang tinggi untuk mencegah konflik di tengah ancaman penjajahan Belanda dan sekutu.

Dinamika Pancasila Pasca-1945
Habib Rizieq juga memaparkan dinamika perubahan Pancasila pasca-kemerdekaan:

1949 (UUD RIS): Pancasila diubah menjadi versi yang disebut sebagai “penyelewengan” oleh Muhammad Rom, dengan urutan sila yang berbeda (Ketuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, keadilan sosial). 1950 (UUDS): Pancasila versi ini disebut “Pancasila palsu” oleh Prof. Hazairin, dengan susunan serupa UUD RIS. 1959 (Dekret Presiden): Pancasila UUD 1945 diberlakukan kembali, dengan catatan “dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945”.

Pancasila dan Tauhid Habib Rizieq menegaskan bahwa Pancasila harus dipahami dalam kerangka tauhid, dengan merujuk pada Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga yang menyebut “rahmat Allah yang Maha Kuasa”.

Menurutnya, “Ketuhanan Yang Maha Esa” merujuk pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjadikan Indonesia sebagai “negara tauhid” berdasarkan konstitusi. Ia menolak pandangan bahwa Pancasila dapat dipisahkan dari nilai-nilai Islam, sebagaimana diungkapkan KH Muhammad Isa Anshari bahwa Pancasila harus “dirawat dengan cara Islam” agar tidak ditelan oleh imperialisme atau komunisme.

Tantangan Penelitian Sejarah Habib

Rizieq mengajak generasi muda, khususnya mahasiswa, untuk meneliti arsip notulen sidang BPUPKI yang tersimpan di Gedung Arsip Nasional. Ia mempertanyakan mengapa pidato para ulama dan tokoh Islam non-sekuler tidak banyak tercatat dalam buku-buku sejarah, padahal Mr. Supomo dalam pidatonya menyebut adanya dua paham dalam sidang BPUPKI: kelompok yang menginginkan negara Islam dan kelompok sekuler nasionalis. Menurutnya, penelitian ini dapat menjadi “penemuan besar” untuk melengkapi sejarah bangsa. (rublik depok/pr.com/gaf).