oleh: Imam Shamsi Ali*
Saat ini umat Islam di seluruh dunia bersiap-siap menyambut datangnya bulan haji. Bahkan saat ini pun musim haji yang penuh hiruk pikuk itu telah mulai terasa. Penerbangan jamaah haji dari berbagai negara dunia sudah dilakukan sejak beberapa waktu terakhir.
Kami sendiri tahun ini bersama travel Nusantara USA akan berangkat bersama jamaah pada tanggal 1 Agustus mendatang. Rencananya akan berada di tanah suci, Mekah dan Madinah, selama 15 hari.
Panggilan Universal
Ada satu hal yang menarik dari panggilan menunaikan ibadah haji dalam Al-Quran. Allah SWT tidak lagi menggunakan kata spesifik “orang-orang beriman”, yang biasanya dipahami secara konsensus sebagai panggilan kepada umat Islam.
Ketika Allah memanggil orang-orang beriman untuk menunaikan ibadah haji, justeru penggilan itu bersifat kemanusiaan. Panggilan yang bersifat universal, seolah tanpa batas.
Di antara ayat-ayat itu, dua di antaranya adalah sebagai berikut:
“Dan kumandangkan kepada ‘manusia’ untuk menunaikan ibadah haji. Niscaya mereka akan datang kepadamu berjalan kaki atau dengan onta-onta jinak. Mereka datang dari tempat-tempat yang jauh”. (S. Al-Haj: 28).
“Dan bagi Allah atas ‘manusia’ untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu melakukannya” (S. Ali Imran: 97).
Penyebutan “an-naas” dalam ayat-ayat haji di atas merupakan indikasi jelas akan panggilan universal ini. Sekaligus deklarasi umum bahwa Islam adalah “hudan lin-naas” atau petunjuk universal bagi seluruh manusia.
Panggilan universal kemanusiaan ini juga sekaligus menggaris bawahi persaudaraan universalitas dalam Islam. Bahwa dalam Islam semua manusia itu bersaudara secara asal. Semua berasal dari Adam dan Hawa. Dan Adam berasal dari tanah.
Panggilan universalitas ini juga sekaligus mengingatkan saya tentang rasisme dan tendensi meningginya “White Supremacy” di dunia Barat. Seolah manusia terkotak dan nilainya ada pada ras dan warna kulitnya.
Panggilan kemanusiaan universal juga mengingatkan universalitas “kesetaraan manusia” (human equality” yang pernah dideklarasikan Rasul Allah, Muhammad SAW, di Padang Arafah. Bahkan jauh sebelum Komisi HAM melakukan hal sama hanya diabad lalu.
Secara khusus, amalan-amalan haji pada galibnya berhubungan dengan Nabi Allah Ibrahim AS. Juga sebuah indikasi bahwa Islam itu adalah dasar dari agama-agama monoteisme. Ibrahimlah pertama kali yang sesungguhnya mengumumkan jika umat monoteis itu bernama “Muslim”.
“Dialah (Ibrahim) yang pertama kali menamaimu Muslim” (Al-Quran).
Dengan haji umat Islam akan terus menyadari dan memperjuangkan kesetaraan kemanusiaan itu. Dengan haji umat juga tersadarkan bahwa semua orang dalam agama ini memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sekaligus memilii peluang yang sama untuk menjadi “the best” (terbaik).
Jika di Amerika ada slogan “equal opportunity” atau peluang yang sama dalam dunia, maka di agama ini peluang sama itu juga ada dalam segala hal. Termasuk peluang menjadi yang terbaik dan termulia.
“sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (Al-Hujurat: 13).
Pesan-pesan haji akan kembali mengingatkan dan membangun kesadaran itu. Bahwa Islammu tidak ditentukan oleh kebangsaan dan rasmu. Tapi oleh iman, karakter dan karyamu. Kesemunya menyatu dalam satu kata: TAQWA.
Sebuah terminologi yang tidak didefenisikan oleh apapun, kecuali hati (iman), karya (amal) dan karakter kepribadian (akhlak) manusia.
Dan haji yang diterima dengan sebutan “mabrur” itu ditandai oleh hadirnya perubahan hidup manusia dalam iman, amal, akhlaknya. Semoga jamaah haji kita dikaruniai kemabruran dalam berhaji. Amin!
(Bersambung….)
New York, 16 Juli 2019
- Presiden Nusantara Foundation
(Keterangan foto: Peserta Summer “tahfizh” program dan suasana di Pesantren Nur Inka Nusantara Madani, USA).