oleh: Imam Shamsi Ali*
Hidup manusia yang alami, suci dan mulia itu seringkali, bahkan menjadi sunnah (aturan) Allah bahwa dalam perjalanannya mengalami berbagai interupsi (gangguan, godaan, tantangan). Di sinilah manusia kemudian terbagi dua. Ada yang “Muhtadiin” (tetap berada di atas fitrah) dan ada yang “dhoolliin” (tergelincir dari kefitrahan).
Hal ini sekaligus mengingatkan kita pertarungan antara kebenaran (al-haq) dan kejahatan (al-batil) sejak awal penciptaan manusia. Adam yang diciptakan dengan karakter kemuliaan lebih itu oleh Allah Iblis diperintah untuk memuliakannya.
Perintah memuliakan itu tersimbolkan oleh perintah Allah kepada Iblis untuk bersujud kepada Adam. “Sujuud ikraam” (pemuliaan) atau “sujuud ihtiram” (penghormatan). Bukan “sujuud ta’abbud” (sujud penyembahan).
Dalam candaan saya biasa mengatakan bahwa sungkeman orang Jawa kepada orang tua itu adalah implementasi perintah Al-Quran. Di mana sang anak bersimpuh menunduk seolah sujud kepada orang tuanya. Menghormati yang lebih tua dengan cara itu secara substansi nampaknya sangat Qurani.
Kemuliaan dan kehormatan yang diberikan kepada Adam itu ternyata menjadikan Iblis tumbang. Tumbang ketaatannya yang selama ini setingkat ketaatan malaikat. Iblis dengan keangkuhannya menolak perintah Tuhan untuk bersujud menghormati Adam AS.
Akibatnya, Iblis terusir dari rahmat Allah. Terusir keluar dari Syurga yang selama ini didiaminya dengan tenang. Iblis menjadi makhluk yang “rajiim” (terlaknat).
Kejatuhan Iblis itu menjadikannya semakin menjadi-jadi dalam dendam, irihati dan dengki kepada Adam AS. Maka sejak itu pula Iblis bertekad untuk menggoda dan menyesatkan anak cucu Adam.
Singkat cerita, sejak itu pertarungan sengit dan abadi terjadi antara dua makhluk Tuhan itu. Bahkan Adam sendiri belakangan sempat tergoda oleh rayuan Iblis untuk memakan “buah terlarang” (khuld) itu. Untung “rahmah” Allah segera menyelimuti beliau dan diampuni oleh Allah SWT.
Pertarungan demi pertarungan, godaan demi godaan dilancarkan oleh Iblis ke anak cucu Adam AS. Tidak sedikit di antara anak cucu Adam dan Hawa yang terjatuh. Kegigihannya juga tidak mengenal lelah.
Hingga masa Ibrahim AS di kemudian hari tiba. Ketika Allah mengujinya dengan ujian yang luar biasa. Barangkali dapat dikatakan sebuah ujian yang secara ukuran manusia “unbearable” (tidak mampu dilakukan). Setelah bertahun-tahun menungu anak, Allah mengaruniainya dengan seorang putra.
Ujian awal Allah memerintahkanya membawa anak itu ke sebuah lembah yang tiada tumbuh-tumbuhan (bi waadin ghaer zar’in inda baetikal muharram”. Lembah itulah yang saat ini dikenal dengan Mekah, yang dalamnya ada Rumah Tua (al-baetul ‘atiiq) yang menjadi kiblat penyembahan orang-orang yang beriman.
Saya katakan ujian karena saat itu lembah itu hanya tempat yang hampa, dikelilingi oleh gunung-gunung bebatuan yang ganas. Kata “ghaer zar’in” (tiada tumbuhan) menunjukkan bahwa lembah itu ganas dan tiada sumber kehidupan.
Kendati demikian Ibrahim AS tanpa tanya apalagi protes mengantar anaknya yang baru lahir bersama isteri tercinta ke tempat itu. Mereka berdua ditinggalkan dengan perbekalan seadanya.
Ternyata ujian itu belum selesai. Ujian terbesar justeru datang beberapa tahun kemudian. Di saat anaknya mencapai umur balig (12-13 tahun), Ibrahim diperintah untuk menyembelih anaknya sebagai pengorbanan kepada Tuhan.
Itu dikisahkan dalam Al-Quran: “Dan Ketua anaknya mencapai umur balig, dia berkata: wahai anakku, sesungguhnya Aku bermipi jika Aku memotong kamu. Lalu bagaimana pendapatmu?. Sang anak menjawab: Wahai ayahku tecinta lakukan apa yang telah diperintahkan kepadamu. Insya Allah niscaya engkau akan mendapatkan saya termasuk orang-orang yang bersabar”.
Ibrahim pun mulai berjalan dengan anaknya Ismail ke arah tempat pemotongan di Mina. Konon ibu Ismail (Hajar) tidak diberitahu ujian besar itu. Khawatirnya sebagai Ibu beliau sedih dan menolak perintah itu.
Dalam perjalanan Itulah Ibrahim mempersiapkan diri dengan penuh kematangan. Salah satunya singgah sebentar di sebuah lembah bernama Muzdalifah. Di sanalah beliau berdzikir menenangkan batin menghadapi ujian besar itu.
Keesokan harinya beliau melanjutkan perjalanan menuju Mina. Ibu Ismail (Hajar) yang tidak diberitahu itu rupanya menjadi target pertama syetan. Beliau diberitahu bahkan dirayu untuk membatalkan rencana Ibrahim itu. Beliau ternyata memilki keimanan dan tawakkal yang hebat. Rayuan dan godaan itu ditolak dengan keras.
Sang syetan kemudian berani mendekati Ibrahim. Dibujuknya agar membatalkan menyembelih anaknya yang tercinta dan satu-satunya itu.
Ibrahim yang sudah bulat dalam keyakinan itu tentu marah. Syetan pun dia usir (lempar). Itulah tempat pelemparan pertama yang dikenal dengan “Jumrah Ulaa”.
Syetan itu bersikukuh menggoda. Ibrahim yang sudah berjalan itu didekati lagi dengan godaan yang sama. Ibrahim pun merespon dengan tegas, bahkan keras (dilempar). Itulah jumrah wustho (pertengahan).
Rupanya syetan belum juga menyerah. Diikuti terus dengan rayuan dan Godaan yang sama. Tapi Ibrahim tidak bergeming dan tergoda sedikit pun. Malah kembali dilempar di tempat yang ketiga. Itulah yang kita kenal dengan Jumrah Aqabah.
Kesimpulannya adalah bahwa pertarungan antara kebatilan dan kebenaran itu sengit dan abadi. Karenanya menghadapi pertarungan itu diperlukan komitmen dan kesungguhan penuh.
Komitmen dan kesungguhan itu yang dalam ritual manasik haji tersimbolkan dengan mabit, baik di Muzdalifah maupun di Mina salama 2 atau 3 malam. Mabit Mina ini bahkan menjadi amalan terlama dalam prosesi amalan-amalan haji.
Pertanyaannya Apakah simbol perlawanan itu ada pada diri jamaah? Sehingga begitu bersamangat melempar Jumrah di Mina, tapi justeru tersenyum dan bersahabat dengan syetan di kampung masing-masing. Semoga tidak! (Bersambung…).
- Presiden Nusantara Foundation/Nusantara USA
(Keterangan foto: Peserta Summer Tahfidz Intensif Pesantren Nui Inka Nusantara Madani USA).