(iHalal.id), – Dewasa ini, label halal tidak hanya disematkan pada makanan dan minuman saja. Label halal juga dapat tercantum misalnya pada kosmetik, pakaian, dan bahkan barang-barang elektronik. Kata “halal”, yang berasal dari Bahasa Arab yang artinya “diperbolehkan”, memang secara umum, pada mulanya, ditujukan terbatas pada makanan dan minuman.
Kata tersebut secara historis dimulai dari tradisi agama Islam, yang membolehkan penganut agamanya untuk makan dan minum segala sesuatu yang tidak diharamkan – “haram” adalah antonim dari “halal” yang artinya “dilarang”. Apa yang diharamkan dalam tradisi agama Islam, antara lain sebagai berikut: Makanan yang mengandung babi, darah, atau yang dagingnya berasal dari bangkai (kecuali hewan laut), serta minuman yang mengandung alkohol. Pendek kata, jika tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang, maka makanan & minuman tersebut otomatis dipastikan halal.
Meski demikian, penjelasan masalah halal tadi masih menimbulkan perdebatan, mengingat dalam tradisi keilmuan Islam perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah Misalnya, meski daging yang dimakannya ayam atau sapi, tapi jika penyebab kematiannya karena disiksa (atau apapun yang tidak melalui proses sembelih halal), maka daging tersebut menjadi haram. Bisa juga misalnya, meski yang dimakan adalah daging bebek yang secara dzhohir hewan halal, namun jika ketel masaknya diduga bekas memasak zat yang mengandung babi, maka daging bebek tersebut juga menjadi haram adanya.
Hal yang lebih menarik, seperti sudah dipaparkan di paragraf awal, bahwa sekarang ini, kebutuhan masyarakat tidak lagi hanya pada label halal pada makanan dan minuman, melainkan juga pada banyak barang-barang lain. Komestik misalnya, kian lumrah bahwa komestik sekarang ini juga memerlukan label halal dari MUI. Per Februari 2018, MUI sendiri sudah mengeluarkan daftar kosmetik bersertifikat halal yang artinya, pada komestik tersebut diharapkan tidak mengandung bahan-bahan yang dalam prosesnya mengandung sesuatu yang diharamkan, misalnya, lemak babi, yang dalam kasus tertentu kerap digunakan sebagai bahan lipstik.
Tidak sebatas itu, kain dan pakaian juga sekarang ini dapat dilabeli halal. Padahal, proses pembuatan kain itu sendiri memang sangat dimungkinkan dicampur enzim hewan yang digunakan untuk menghilangkan kanji pada kain. Selain itu, enzim yang berasal dari hewan tadi, juga berfungsi membuat kain menjadi lembut. Enzim dan asam amino tersebut kadang berasal dari hewan yang diharamkan Islam. Sehingga upaya sertifikasi halal, pada titik tertentu jadi dipertanyakan.
Bahkan benda elektronik, seperti misalnya kulkas, saat ini dapat dilabeli halal. Kulkas halal semacam itu, pada intinya sama saja dengan kain ataupun kosmetik: Tidak mengandung unsur-unsur haram baik dalam setiap bahan-bahan yang terkandung di dalamnya, maupun pada proses pembuatannya.
Namun pada akhirnya, sertifikasi halal lebih punya kaitan dengan keamanan dan kenyamanan konsumen terutama bagi Islam. Label halal disematkan sebagai garansi bahwa produk tersebut tidak perlu diragukan lagi dari mulai tahap proses awal hingga sampai ke bentuk final. Label sertifikasi halal menjadi agak bergeser dari yang sebelumnya punya hubungan dengan boleh atau tidaknya segala sesuatu, menjadi baik atau buruknya segala sesuatu (yang mana keduanya agak berbeda konteks).
Hal yang mesti disikapi oleh masyarakat secara kritis adalah label halal sebagai cara lain yang digunakan oleh produsen untuk merangkul konsumen lebih banyak. Label halal menjadi diobral sedemikian rupa untuk meraih pembeli beragama Islam, yang notabene mayoritas di Indonesia ini. Kita harus secara pelan-pelan melihat, apakah yang dikonsumsi oleh kita itu halal dalam artian dari segi konten atau proses pembuatannya, atau halal hanya karena melihat labelnya – seolah label halal secara otomatis dapat mendongkrak penjualan.
Untuk itu, supaya masyarakat Muslim mudah membedakan mana yang halal dan mana yang haram, hendaknya keberadaan otoritas negara yang dianggap berwenang menentukan halal tidaknya sebuah produk makanan & minuman (beserta produk turunannya) sudah sangat mendesak. Indonesia saat ini sudah memiliki UU No. 33 tahun 2014 tentang JPH (Jaminan Produk Halal), dimana berdasarkan UU Halal tersebut, MUI (Majelis Ulama Indonesia) sudah tidak berwenang lagi untuk melaksanakan sertifikasi halal (baca: label Halal—red.). MUI, merujuk pada UU JPH, hanya berwenang memberikan fatwa seputar produk-produk halal tadi. Urusan sertifikasi Halal menjadi wewenang dan tanggungjawab Kementerian Agara yang menunjuk lembaga-lembaga atau Organisasi-Organiasi kemasyarakatan Islam mengaudit produk-produk makanan-minuman beserta turunannya melalui Laboratorium Halal. Sayangnya, hingga saat ini PP (Peraturan Pemerintah) sebagai panduan pelaksana bagi UU No. 33 tahu 2014 tentang JPH (Jaminan Produk Halal) tersebut belum ada. Untuk itu, keberadaan Peraturan Menteri Agama tadi sudah mendesak.
* Pegiat Halal