HEBOH KASUS TELUR HALAL DAN HIKMAHNYA BAGI KITA Oleh: Rosalinda*

JAKARTA (iHalal.id) —- Hukum Islam cukup detail dalam mengatur segala aspek kehidupan, tak terkecuali dalam hal mengkonsumsi makanan, seperti telur. Telur, secara umum dapat diartikan sebagai zigot yang dihasilkan melalui fertilisasi sel telur dan berfungsi menjaga serta memelihara embrio. Pada dasarnya, hampir seluruh telur dapat dimakan, baik dalam kondisi mentah, atau dengan cara pengolahan seperti digoreng atau direbus. Namun tentang apakah telur-telur itu halal, adalah hal yang berbeda.

Para ulama mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang kehalalan telur. Hal yang umumnya sudah disepakati adalah sebagai berikut: Bahwa telur yang dihasilkan dari hewan-hewan yang halal dimakan, adalah juga halal, kecuali jika indung telur itu telah menjadi bangkai, atau telah bersatunya kuning telur dan putih telur yang kemudian menjadi embrio yang bernyawa (seperti halnya balut, makanan khas Filipina).

Namun tentang telur yang dihasilkan dari hewan-hewan yang haram dimakan, seperti ular, penyu, buaya, dan sebagainya. terjadi sedikit perbedaan pendapat. Ada yang mengharamkan, ada yang membolehkan, pun ada yang membolehkan dengan syarat. Syarat yang dimaksud misalnya, untuk pengobatan.

Lantas, bagaimana jika terdapat label “telur halal” untuk telur ayam, padahal secara hukum memang sudah dihalalkan (kecuali jika sudah menjadi embrio tadi)? Alkisah, pada tahun 2017, muncul di kalangan netizen, konten tentang telur cap halal. Keterangan pada produk tersebut tertulis sebagai berikut: “Jangan sampai kita memakan telur yang dihasilkan dari ayam pezina. Untuk itu kami sajikan kepada anda telur halal. Dijamin keasliannya dan tidak mengandung lemak babi. Kami sangat memperhatikan pergaulan ayam-ayam kami agar tidak terlibat pergaulan dan seks bebas.”

Keterangan dari produk tersebut sempat jadi bahan tertawaan warganet karena dianggap lucu ataupun malah satir. Namun jika direnungkan lebih jauh, terlepas dari apakah pembuat produk itu serius atau bercanda ketika menulis itu, kita harus melihat dari pemahaman yang lebih besar: bahwa label halal, memang sedemikian berharganya bagi konsumen kita. Label “halal” seolah menjadi latah tanpa orang benar-benar memahami maksudnya.

Tentu saja, menurut akal sehat, tiada ayam yang pezina karena zina lebih tepat dilabelkan pada manusia yang berhubungan seksual tanpa melalui pernikahan yang sah. Apa yang diungkapkan dalam keterangan di atas bisa jadi merupakan sindiran pada label halal sendiri yang tampak serampangan seolah-olah halal sudah lebih dari sekadar dibolehkan atau tidak dibolehkan. Lebih daripada itu, label halal sudah seperti merk dagang yang membuat produk lebih menarik untuk dikonsumsi.

Selain telur halal, juga sekarang ada jilbab halal, kosmetik halal, dan bahkan kulkas halal. Ramai-ramai menghalalkan produk ini tentu saja menjadi fenomena yang patut dicermati. Jika pihak berwenang, yang punya otoritas dalam mengeluarkan label halal, tidak segera menjelaskan atau menyosialisasikan kembali metode-metodenya dalam mengetahui apakah sebuah produk itu halal atau tidak, maka bisa jadi kata halal ini kian digunakan tanpa bertanggungjawab, dan bahkan, pada titik tertentu, menjadi bahan candaan seperti yang terjadi pada kasus telur halal.

Kulkas halal pun kurang lebih sama. Meski pihak produsen tidak mencantumkan keterangan apa-apa, namun sejumlah netizen sedikit-sedikit melontarkan kalimat usil seperti misalnya: “Jika babi dimasukkan ke dalam kulkas halal, apakah babinya kemudian menjadi halal?” Pertanyaan bernada satir tersebut menunjukkan, sekali lagi, bahwa pihak otoritas mesti segera turun tangan untuk menyelesaikan kekisruhan. Untuk itu, pemerintah dituntut hadir melalui Peraturan Pemerintah sebagai pendukung UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Halal bukan hanya label tapi juga audit dan investigatif  terhadap makanan-makanan yang biasa dikonsumsi ummat Islam.

* Pegiat Halal

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *