JAKARTA (iHalal.id) Pengamat komunikasi dan Direktur Pusat Studi Sosial dan Pembangunan Berkelanjutan (CS3D-Paramitra), Irfan Fauzi Arief mengatakan salah satu langkah konkret mencegah radikalisme adalah melalui pendidikan di berbagai tingkatan.
Pendidikan diyakini menjadi kunci mencegah radikalisme
Hal itu dikatakan Irfan di Jakarta,Senin,(12/8) menanggapi wacana pencegahan aliran radikal yang belakangan rama dibicarakan di media nasional. Persoalan radikalisme dan kebangkitan nasional menjadi trending topik menjelang perayaan hari kemerdekaan dan foto seorang taruna yang merupakan WNI, Enzo yang memiliki ayah orang Prancis tapi Ibu Orang Indonesia. Dalam foto, Enzo terlihat mendapat perhatian khusus Presiden Jokowi.
Misalnya, lembaga pendidikan harus membangun daya kritis generasi muda dalam mencerna informasi di dunia maya. Sebab, paham radikalisme juga rentan disusupi lewat dunia siber dan media sosial.
Untuk itu, Irfan juga mengimbau agar organisasi masyarakat sipil dan keagamaan moderat bisa berperan strategis dalam melawan narasi radikalisme dengan narasi tandingan.
Ada banyak narasi positif yang bisa mengcounter narasi radikal. Nahdlatul Ulama punya narasi Islam Berkarakter Indonesia. Syarikat Islam punya narasi tentang Dakwah Ekonomi, dan punya narasi Muhammadiyah Islam berkemajuan, itu alternatif narasi memberikan narasi tandingan.
Dengan demikian, masyarakat semakin sadar bahwa ajaran agama yang benar mengajarkan nilai toleransi, kepedulian, kasih sayang, dan kelembutan dengan sesama manusia.
Di sisi lain, perlu ditekankan pentingnya merangkul seluruh tokoh masyarakat dan keagamaan dalam melawan penafsiran negatif atas doktrin agama yang disalahgunakan oleh kelompok teroris.
Misalnya konsep jihad, ini di publik ini kadung disalahpahami, jihad diartikan berperang mengangkat senjata memerangi kaum kafir, dan kaum kafir dimaknai non muslim. Ini pemahaman keliru.
Al Quran sendiri tak pernah mendefinisikan konsep jihad hanya berperang secara fisik. Islam mengajarkan konsep jihad secara beragam, positif dan membawa kemaslahatan bagi umat.
Bukan pindah dari bumi Indonesia ke medan perang, tapi bagaimana kita pindah ke situasi baik dari situasi buruk.
Di sisi lain, juga terdapat konsep khilafah yang disalahgunakan oleh pihak tertentu. Menurut Irfan, narasi khilafah itu sejatinya merupakan narasi simbolik atas sebuah tatanan sistem ideal (khilafah) dimana kepemimpinan dilaksanakan berdasarkan keilahian (khalifah) yg telah dicontohkan Nabi dan Khulafairrosyidin. Jadi tidak ada narasi Islam yang berbicara konsep khilafah sebagai sebuah perububahan entitas politik kekuasaan atau mendirikan negara didalam negara.
Konsep khilafah bukanlah sesuatu hal yang stereoti atau negatif, khilagah afalah fungsi dan sistem dimana manusia memiliki peran yang strategis dalam mengelola bumi demi kebaikan sesama.
Seluruh manusia itu khilafah, punya fungsi memakmurkan bumi, menjaga perdamaian dan keutuhan di bumi dan itu tidak hanya Islam saja, fungsi kholifah itu melekat pada manusia semuanya, siapa yang mengaku sebagai predikat manusia.
Jadi Khilafah itu intinya perubahan dari yg kurang baik ke yang lebih baik, dan itu bisa dimulai dr hal yg kecil, yang kita bisa dan mulai saat ini juga karna kita semua pemimpin dr diri kita sendiri.
Oleh karena itu, ia berharap penguatan masyarakat sipil dalam kontra radikalisme bisa membuat bangsa ini tak terperosok pada konflik sektarian dan penyebaran paham radikalisme.
Organisasi Islam pun mesti berperan aktif melakukan kontra radikalisme agama.
Karena itu harus ada upaya dari ormas moderat seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk mulai membuat kontra-narasi radikalisme yang tertanam dalam benak para eks-anggota ISIS.
Muhammadiyah dan NU harus mulai berdakwah untuk memperjuangkan itu.
Menurut irfan, hal tersebut harus menjadi lahan dakwah Muhammadiyah, NU dan Syarikat Islam serta Ormas Islam lainnya agar paham radikal dalam konotasi negatif tidak menyebar ke masyarakat. Selain itu, organisasi-organisasi mahasiswa juga harus mulai bersuara terkait dengan hal itu, karena radikalisasi saat ini cukup banyak juga melalui kampus-kampus.
Organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dimana organisasi Mahasiswa saat ini mengalami degradasi pemikiran, dari idiologis kepada pragmatis, sehingga kini jarang terdengar bersuara atas kepentingan rakyat, kalopun ia berdemo ya biasanya bila menyangkut urusan pribadinya, kondisi idiologi Mahasiswa kita kini sangat miris dan gawat darurat, kata Irfan. Harusnya merekalah yang juga berperan aktif untuk meng-counter penyebaran paham-paham radikal di kampus.
Untuk itu, kampus sebagai tempat kaum intelektual dan calon intelektual kampus harus dapat mencegah masuknya paham radikalisme dan terorisme. Menurutnya ada beberapa cara agar lingkungan kampus terbebas dari paham radikalisme.
Untuk mencegah radikalisme di lingkungan kampus, pertama tentumya yakni perkuliahan. Dimana dalam perkuliahan ini yaitu perkuliahan yang sesuai kalender akademik atau program studi yang telah ditentukan sesuai yang apa menjadi pilihan mahasiswa itu sendiri dan juga pendidikan yang di luar program studi seperti kegiatan kemahasiswaan.
Kedua, memperkuat mata kuliah tertentu seperti penguatan tafsir, penguatan ideologi negara itu sendiri dan mata kuliah tertentu lainnya.
Nanti di mata kuliah itu kita antisipasi dalam pokok-pokok bahasannya. Selain itu, mahasiswa yang berkuliah di kampus tersebut tidak hanya diberikan teori, namun juga dibekali dengan praktek di lapangan.
Ketiga mencegah yaitu dari tenaga pendidik atau dosen yang masuk itu berlatar belakang pendidikan atau berpandangan ektrem atau berideologi radikal.
Selain itu katanya, hal lain yang bisa dilakukan adalah menjadikan moderasi Islam sebagai gerakan segenap civitas akademika di lingkungan kampus. Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) mempunyai modal cukup untuk ini. Sebab diskursus pemikiran keislaman berkembang baik sehingga tinggal didorong agar moderasi bisa menjadi gerakan bersama.
Selanjutnya adalah memperkuat wawasan kebangsaan mahasiswa dan civitas akademika kampus. Selain sesi-sesi perkuliahan, upaya ini bisa dikemas dalam ragam aktivitas positif yang dapat mencegah secara dini berkembangnya paham ekstrem yang tidak sesuai dengan nilai moderasi Islam serta Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pihak kampus juga harus ikut serta mengawasi segala macam bentuk kegiatan dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ada di dalam kampus itu sendiri. Jangan sampai UKM yang ada di lingkungan kampus tersusupi paham radikal.(Sat)