JAKARTA (iHalal.id) —- Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM Suparno menegaskan bahwa saat ini pihaknya sudah bekerjasama dengan 13 kementerian dan lembaga dalam rangka pencegahan bagi koperasi melakukan penyimpangan usaha. Diantaranya, kerjasama dengan KPPU, OJK, Kemendag, BKPM, Polri, Kejaksaan, BI, Kominfo, Kementerian Agama, dan sebagainya. “Kemenkop tugasnya mengawasi dan mengawal koperasi agar tetap dalam jati diri koperasi. Namun, sektor usaha koperasi kan berbeda-beda. Makanya, kita melibatkan kementerian dan lembaga lain. Tadinya tujuh KL, sekarang sudah menjadi 13 KL. Itu semua tergabung dalam wadah Satgas Waspada Investasi”, papar Suparno pada acara Bimbingan Teknis Penilaian Kesehatan USP dan Pengawas Koperasi, di Jakarta, Senin (6/8).
Di acara yang dihadiri Dinas Koperasi dan UKM dari 16 provinsi dan 18 kabupaten/kota, Suparno mencontohkan, ada koperasi yang menghimpun dana masyarakat dari bukan anggota koperasi, maka Kemenkop melakukan kerjasama penyelesaian masalah itu dengan OJK dan BI. “Karena itu ada kaitannya dengan pelanggaran UU Perbankan. Begitu juga misalnya ada kemitraan swasta dengan KUD, Kemenkop akan bekerjasama dengan KPPU. Atau, bila ada koperasi berpraktek MLM, maka kita akan menggandeng Kemendag. Pelanggaran seperti itu banyak terjadi di daerah”, kata Suparno.
Suparno juga memberi contoh satu kasus koperasi di Lampung Timur yang sudah buka cabang dimana-mana, tapi kini pemilik koperasinya buron dengan membawa lari dana anggota. “Kasus seperti ini kerap terjadi dimana koperasi bisa dimiliki oleh orang perorangan. Sejatinya, koperasi itu milik bersama, milik anggota, dan bukan perorangan”, tandas Suparno.
Oleh karena itu, Suparno meminta agar Pemda (provinsi dan kabupaten/kota) memiliki keberanian untuk menilai kesehatan koperasi yang ada di daerahnya masing-masing. “Tentunya, langkah pengawasan dan jug penilaian itu sudah sesuai dengan aturan main yang ada. Seperti UU Nomor 25/1992, UU Nomor 23/2014, PP Nomor 9/1995, PP Nomor 24/2018, Permenkop UKM Nomor 2/2017, dan sebagainya”, jelas Suparno.
Suparno mengakui saat ini daerah masih terkendala kualitas SDM di dinas terkait dalam pengawasan koperasi. Masih banyak kepala dinas dan para stafnya yang tidak menguasai dan memahami seluk-beluk usaha perkoperasian. “Kalau tidak menguasai perkoperasian, mana mungkin dia bisa dan mampu melakukan pengawasan dan penilaian kesehatan terhadap koperasi”, imbuh Suparno.
Salah satu solusinya, kata Suparno, pihaknya mendorong daerah untuk memfungsikan jabatan fungsional, tidak melulu terfokus pada jabatan struktural. “Kami akan membina seseorang untuk menduduki jabatan fungsional di daerah terkait perkoperasian. Bila orang itu sudah ahli dan menguasai perkoperasian, jangan dipindahtugaskan lagi ke bidang lain. Itu yang banyak terjadi di daerah”, ungkap Suparno lagi.
Suparno pun mengingatkan ada peran Pemda dalam hal pengawasan dan penilaian kesehatan sebuah koperasi. Bukan sekadar memberikan ijin bagi koperasi. “Dari 152.714 koperasi yang ada di Indonesia yang dinyatakan sehat, apakah mereka sudah benar-benar menjalankan koperasi sesuai dengan prinsip dasar dan jati diri sebuah koperasi? Untuk menjawab itu menjadi tugas kita semua”, kata Suparno.
Suparno menambahkan, pengawasan dan penilaian kesehatan koperasi harus dilakukan secara terus menerus, tidak bisa dilakukan hanya satu kali. “Bisa saja tahun ini koperasi tersebut kita nilai sehat. Tapi, tahun depan ketahuan melakukan praktek memberikan pinjaman banyak ke yang bukan anggota koperasi. Maka, koperasi itu menjadi tidak sehat”, ujar Suparno.
Ke depan, Suparno mengungkapkan bahwa hasil penilaian kesehatan sebuah koperasi akan menjadi salah satu syarat bagi koperasi bila ingin mendapatkan bantuan program dari pemerintah, seperti bantuan kredit dana bergulir dari LPDB KUMKM. “Begitu juga dengan koperasi yang ingin bermitra dengan perbankan. Penilaian terhadap koperasi ini sebagai alat ukur kesehatan sebuah koperasi”, pungkas Suparno. (Sat)