Ketauladanan Ibrahim AS (bagian – 02)


oleh: Imam Shamsi Ali*

Begitu luas makna ketauladanan Ibrahim AS dalam Kehidupan kita, baik secara individu maupun kolektif. Ibrahim memang menjadi sosok yang ditauladani bahkan diakui oleh tiga kelompok agama. Yahudi mengakuinya sebagai Yahudi. Kristen sebagai Kristen. Lalu Al-Quran kemudian datang menolak pengakuan itu.

Firman Allah: “Ibrahim bukankah Yahudi dan tidak pula Kristen. Tapi dia adalah seorang Muslim yang hanif. Dan dia juga bukan seorang yang musyrik”.

Penolakan asosiasi Ibrahim AS dengan Yahudi dan Nasrani ini, apalagi dengan musyrik, karena dalam pandangan Islam relasi kita dengan beliau, dan semua rasul dan nabi termasuk Muhammad SAW, bukan relasi ras, etnis atau hubungan darah. Tapi hubungan hati, akidah dan iman.

Ibrahim AS dan generasi masa depan

Berhubung karena masih dalam suasana hari kurban, saya ingin membahas secara singkat dan sederhana satu aspek ketauladanan Ibrahim AS yang saya yakin sangat mendesak untuk kita tauladani. Yaitu ketauldanan beliau dalam menyiapkan generasi masa depan yang tangguh.

Mungkin tidak salah saya katakan bahwa beliaulah yang meletakkan dasar bagi terutusnya penutup pada rasul dan nabi, Muhammad SAW. Sekaligus beliaulah yang meletakkan fondasi bagi kebangkitan “Khaer Ummah” yang menjadi representasi para nabi dan rasul dalam mengemban amanah risalah samawi ini .

Dalam proses membentuk generasi masa depan, ada tujuh hal yang perlu kita tauladani dari Ibrahim AS.

Pertama, bahwa Ibrahim AS membangun kesadaran penuh tentang tanggung jawab dakwah. Bahwa dakwah adalah tanggung jawab keumatan hingga akhir hidup dunia. Dan Karenanya untuk kesinambungannya diperlukan regenerasi dari orang tua ke anak ke cucu dan seterusnya.

Sadar tanggung jawab inilah yang menjadikan Ibrahim resah dan gelisah ketika itu karena umur beliau yang semakin rentah tapi juga tak kunjung dikaruniai anak oleh Allah SWT. Kegelisahan ini menyebabkan isterinya Sarah terpanggil mendorong Ibrahim untuk menikahi Hajar AS menjadi isteri keduanya.

Dan dari isteri kedua inilah terlahir anak pertama, seorang anak yang lama ditunggu kehadirannya oleh sang ayah. Sang anak yang pastinya menjadi idaman hati dan sekaligus pelipur kegelisahan akan terputusnya misi kerisalahan yang menjadi misi Utama kehidupan Ibrahim AS.

Pelajaran terpenting dari sisi ketauladanan ini adalah Urgensi membangun kesadaran bahwa masa depan generasi ini akan menentukan wajah masa depan Umat.

Masalahnya adalah sadarkah kita? Khususnya Komunitas di dunia Barat, termasuk Amerika, apakah kesadaran tentang masa depan generasi menjadi prioritàs? Atau sebaliknya Komunitas Muslim di negara ini hanyut dalam buaian impian Amerika (American Dreams) yang tak kunjung tiba?

Mari kembali bangun kesadaran itu. Ingat keselamatan kita akan juga ditentukan oleh sadar atau tidaknya kita dalam upaya menyelematkan generasi kita. Kelalaian kita dalam melakukan yang terbaik bagi penyelamatan generasi sesungguhnya juga kelalaian untuk menyelamatkan diri sendiri.

Kedua, bahwa Ibrahim AS dalam upaya membangun generasi dilakukan “dengan” dan “untuk” Allah SWT. Beliau meyakini bahwa anak dan generasinya adalah karunia Allah dan untuk tujuan pengabdian kepadaNya.

Di sinilah Ibrahim kemudian menyadari bahwa anaknya bukan untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk gagah-gagahan. Tapi memang karunia Allah untuk tujuan yang lebih mulia. Yaitu pengabdian dan li izzatil Islam.

Itulah yang menjadikan Ibrahim begitu mudah dan siap menerima perintah Allah untuk membawa anak dan isterinya ke sebuah lembah yang tiada tumbuh-tumbuhan (biwaadin ghaeri zar’in). Sebuah perintah yang kira-kira dalam pandangan manusia satu bentuk suicidal (bunuh diri).

Bagaimana tidak. Makkah ketika itu hanya gunung bebatuan dan padang pasir yang tandus dan kering. Kata “tiada tumbuh-tumbuhan” mengindikasikan bahwa tempat itu tidak ada sumber kehidupan. Karena air menjadi kebutuhan utama para makhluk hidup.

Setelah perintah dilaksanakan, beberapa tahun kemudian Alalh kembali menguji Ibrahim dengan perintah menyembelih anaknya. Ibrahim tanpa ragu sedikitpun melakukan itu. Walau kemudian sang anak digantikan dengan seekor domba atau kambing.

Pelajaran penting bagi kita dari kisah ini adalah bahwa upaya kita dalam menyiapkan generasi masa depan mutlak dilakukan dalam ikatan Keilahian. Proses penyiapan generasi harus selalu dalam ikatan nilai-nilai Rabbani. Karena memang Allah menjadi pusat segala proses kehidupan kita tanpa kecuali, termasuk dalam pendidikan anak kita.

Ini berarti bahwa dalam pendidikan anak agama harus menjadi dasar pijakan. Anda mungkin mengirim anak ke sekolah atau universitas paling bergensi. Tapi ketika anak terputus dari agama (Tuhan) maka anda telah menjatuhkan anak itu ke dalam lembah kegagalan totalitas.

Ketiga, bahwa Ibrahim dalam mendidik anaknya mengambil metode pendewasaan. Artinya anak itu diajarkan untuk dewasa dalam menyikapi segala hal dalam hidup, bahkan yang paling pelik dan krusial sekalipun.

Ketika Allah memerintahkan Ibrahim untuk memotong anaknya, Ibrahim sangat yakin akan perintah itu. Namun demikian Ibrahim juga tidak secara serta merta melakukan perintah itu. Justeru beliau menyampaikan kepada anaknya, bahkan meminta opini anaknya.

Meminta opini? Opini anak mengenai perintah Allah?

Bagi sebagian tentu hal ini nampak kurang sesuai. Bagaimana mungkin sebuah perintah yang diyakini kewajibannya tapi masih meminta pertimbangan orang lain? Apalagi dari seorang anak yang baru menginjak dewasa.

Tapi itulah Ibrahim AS. Beliau bukan seorang diktator kecil dalam rumah tangganya. Justeru beliau menyampaikan dan meminta pendapat anaknya agar sang enak dewasa dalam menyikapi perintah itu, serta ikhlas menerima perintah Allah. Bukan hanya karena Ayahnya. Apalagi karena paksaan.

Pesan penting dari ketauladanan ini adalah hendaknya orang tua belajar membangun komunikasi dan melakukan pendekatan persuasi kepada anak dan generasi muda. Dengan demikian anak dan generasi muda kita akan membangun kedewasaan tanpa merasa terputus dan terpaksa oleh orang tuanya.

Sayangnya memang ada gap komunikasi yang terjadi antara orang tua dan anaknya. Terkadang karena memang masalah bahasa, termasuk bahasa kultur. Juga karena lambangnya orang tua beradaptasi untuk merespon perkembangan anak-anak dengan dunianya yang serba baru.

Tentu juga masuk dalam hal ini pentingnya pada guru, ustadz, Maulana, kyai, Imam dan syeikh untuk menguasai bahasa generasi muda kita. Jika tidak maka efektifitas kemanfaatannya di tengah Komunitas Muslim di Amerika sangat terbatas.

Keempat, bahwa Ibrahim AS memastikan keselamatan iman dan Islam generasinya. Ada sense atau rasa tanggung jawab besar untuk meyakinkan diri sebagai orang tua jika anak dan generasinya tetap berada di jalan iman dan Islam.

Disebutkan dalam Al-Quran bahwa di akhir-akhir hayatnya Ibrahim memanggil anaknya untuk menekankan sekaligus meyakinkan agar anak dan generasinya melanjutkan risalah islam ini. Dan hendaknya mereka tidak mati kecuali dalam keadaan Islam.

“Dan ingat ketika Ibrahim dan Ya’qub memberikan wasiat kepada anaknya. Wahai anakku sesungguhnya Allah telah memilih agama bagimu. Maka janganlah mati kecuali dalam keadaan Islam”.

Kata wasiat ini sebuah penekakan Urgensi meyakinkan akan iman dan Islam anak dan generasi kita. Wasiat itu adalah kewajiban yang tidak boleh terlalaikan, apalagi sengaja tidak dilakukan.

Pelajaran penting dari kisah ini adalah bahwa setiap orang tua wajib meyakinkan diri dan anaknya untuk menjadikan Islam ini sebagai jalan hidupnya. Bahkan wajib mengingatkan kepada anak keturunannya untuk menjaga agama hingga pernafasan terakhir (last breath) dalam hidupnya.

Tapi sangat disayangkan mayoritas di antara kita justeru yang cenderung diwasiatkan adalah bagaimana agar dunia anak-anak kita tetap maju dan sukses. Sekolah dan karirnya menjadi perhatian utama. Sementara agama tidak lagi penting karena dunia telah memenuhi ruang-ruang hidup kita.

kelima, bahwa Ibrahim AS memiliki visi yang jauh ke depan tentang generasi. Beliau tidak sekedar menyadari tentang Urgensi generasi dalam setahun bahkan sepuluh tahun. Tapi generasi ke generasi selanjutnya menjadi bagian dari perhatian beliau yang mendasar.

Kita masih ingat ketika beliau selesai meninggikan fondasi Ka’bah. Tentu kalau berbicara tentang Ka’bah seharusnya yang terbetik di pikiran adalah sholat, thawaf, haji atau Umrah.

Tapi yang menarik justeru doa nabi Ibrahim bersama anaknya Ismail setelah meninggikan fondasi Ka’bah adalah “Wahai Tuhan kami, jadikan kami berdua dua hambaMu yang berserah diri (Muslimatan laka)”

Permohonan itu kemudian disambung: “Dan dari anak-anak keturunan kami juga menjadi umat yang berserah diri kepada kepadaMu (ummatan Muslimatan laka).

Setelah itu Ibrahim kemudian secara khusus mendoakan penduduk Mekah, yang saat itu hanya isteri (Hajar) dan anaknya (Ismail). Tapi visi yang jauh ke depan itulah yang menjadikan Ibrahim terdorong untuk mendoakan agar Allah mengirim seorang Rasul kepada mereka.

Seperti dalam ayatNya: “Wahai Tuhan kami, kirimkan kepada mereka seorang Rasul yang membacakan ayat-ayatMu, mensucikan mereka, dan mengajarkan keada mereka Kitab dan Hikmah”.

Doa inilah yang dikabulkan dengan terutusnya rasul dan nabi terakhir, baginda Rasulullah SAW.

Pelajaran terpenting dari peristiwa di atas adalah bahwa Muslim itu dalam melihat generasi selalu menatap jauh ke depan. Bahwa generasi yang kita persiapkan adalah generasi yang melanjutkan hidup dan perjuangan, tidak saja dalam rentang waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Tapi generasi demi generasi harapannya tetap terbangun kokoh di atas iman dan Islam itu.

Keeanam, bahwa dalam membangun generasi Ibrahim memberikan kepercayaan besar kepada isterinya Hajar untuk membesarkan dan mendidik anaknya Ismail AS.

Hajar yang ditinggal pergi suaminya di Mekah bersama anaknya, beliaulah yang kemudian berjuang untuk menghidupi sekaligus membesarkan dan mendidik anaknya Ismail. Dan ternyata kepercayaan Ibrahim itu kepada isterinya menghasilkan seorang anak yang luar biasa.

Tadi disebutkan bagaimana Ismail dengan segala Ikhlas dan berserah diri menyambut perintah Allah kepada Ayahnya untuk menyembelih dirinya. Padaha ketika itu beliau hanyalah seorang remaja yang baru menginjak umur balig. Tapi dengan tegas mengatakan kepada Ayahnya: “Wahai ayahku, lakukan yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang bersabar”.

Pelajaran terpenting dari kisah ini bahwa tanggung jawab pendidikan anak itu adalah tanggung jawab bersama (shared responsibility). Tapi perlu kita ingatkan para Ibu akan tugas utama dan termulia dalam hidupnya. Yaitu meyakinkan dari sedini mungkin bahwa anak dan generasi mendapatkan perhatian dan didikan yang sesuai dan memadai.

Tentu pelajaran penting lainnya adalah bahwa hanya dengan orang tua yang bertanggung jawab akan terlahir anak dan generasi yang juga bertanggung jawab. Di saat anak-anak dan generasi kita tidak lagi bertanggung jawab, maka boleh jadi karena para orang tua tidak lagi melakukan tanggung jawabnya secara baik dan maksimal.

Ketujuh, bahwa Ibrahim AS yakin seyakin yakinnya bahwa Pendidik (Murabbi) sejati itu adalah Allah SWT. Dialah sang Pencipta yang mendidik semua makhlukNya, terutama makhlukNya yang termulia, manusia.

Karenanya Ibrahim AS secara khusus mendoakan agar Allah menjadikan keluarganya, anak isterinya, menjadi “qurrata a’yunin” (hiasan mata). Keluarga dan anak keturunan yang ketika dipandang hati menjadi sejuk dan damai.

Bahkan Ibrahim mendoakan agar Allah menjadikan mereka Pemimpin orang-orang yang bertakwa. Pemimpin orang bertakwa diartikan sebagai tauladan dalam ketakwaan. Menjadi keluarga dan generasi yang terbaik dalam ketakwaan.

Doa itulah yang kita semua selalu ulang-ulangi: “Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yunin waj’alna lilmuttaqiina imaama”.

Karenanya mari kita doakan anak-anak dan generasi kita agar Allah jaga di atas jalan kebenaran (shiratul mustaqim). Bukan anak dan generasi yang justeru melihat agama sebagai kungkungan dan beban kehidupan.

Doakan di setiap akhir sholat-sholat kita, di setiap tahajjud, bahkan setiap saat kapan dan di mana saja.

Sungguh doa orang tua itu adalah senjata ampuh bagi anak-anaknya. Semoga!

New York, 4 Agustus 202

  • Nusantara Foundation/
    Jamaica Muslim Center

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *