JAKARTA (iHalal.id) — Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sudah selayaknya Indonesia terdepan dalam pengembangan produk Halal. Apalagi, kini, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Jaminan Produk Halal.
Hal itu terungkap disela acara penandatanganan MoU atau nota kesepahaman antara YPHI (Yayasan Produk Halal Indonesia) pimpinan Dr. Muhammad Yanis Musdja, M.Sc dengan KoRSIA (Korea R&D Service Industry Association atau Asosiasi Layanan Pengembangan & Riset Industri Korea) pimpinan Dr. Jae Ho Hyun. Menurut Yanis, Indonesia sudah saatnya menjadi pusat Halal Dunia.
“dengan jumlah muslim terbesar dunia, kita sudah selayaknya menjadi pusat kajian Halal Dunia, apalagi Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Jaminan Produk Halal”, ungkap dosen Pasca Sarjana UIN itu, di Jakarta (21/12).
Yanis Musdja yang juga sekjen Auditor Halal Dunia menjelaskan, tujuan dari ditandatanganinya MoU ini antara lain untuk membantu pengembangan produk halal Indonesia umumnya dan membantu pengembangan produk halal melalui Kadin (Kamar Dagang Indonesia—red.) dan UMKM khususnya.
Sementara itu, Dr. Jae Ho Hyun dari KoRSIA menambahkan, sebagai negara dengan penganut muslim yang menoritas, pihaknya merasa terpanggil untuk membantu Indonesia dalam mengembangkan produk-produk halalnya. Apalagi gaya hidup halal di berbagai sektor kehidupan; food, travel, fashion, clothing, sudah menjadi kebutuhan umat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, pihaknya akan membantu Indonesia dibidang teknologi halal, termasuk transfer know-how (alih teknologi).
Seperti diberitakan, sejak diundangkan 4 tahun yang lalu, sosialisasi UU no. 33 tahun 2014 tetang Jaminan Produk Halal (JPH—red.) giat dilakukan pemerintah, antara lain melalui Kementerian Agama dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) melalui LPOM MUI. Akan tetapi, merujuk kepada amanat UU, setelah batas waktu tahap sosialisasi selesai hingga 5 tahun, UU Halal tadi harus segera diberlakukan dengan panduan peraturan pendukung (PP—red.) dari Kementerian Agama.
Lambannya PP sangat disayangkan berbagai pihak, antara lain datang dari YPHI (Yayasan Produk Halal Indoensia) dan Pusat Halal Salman-ITB. Ketua umum YPHI Dr. Muhammad Yanis Musdja yang juga pengajar di Universitas Islam Negeri Jakarta menyesalkan belum adanya PP Halal, padahal tahun 2019 UU no. 33 tahun 2014 tetang Jaminan Produk Halal harus segera diberlaukan. Senada dengan Yanis, Ketua Harian Pusat Halal Salman-ITB Dina Sudjana mengakui belum adanya PP Halal membuat ummat bingung. Namun baik Yanis maupun Dina, pihaknya tetap melakukan workshop terhadap para pemangku kepentingan Halal, seperti pedagang, pengusaha kecil-menengah akan manfaat UU no. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal bagi ummat.
Dengan diberlakukannya UU no. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang berhak melakukan sertifikasi halal adalah Kementerian Agama dengan menunjuk organisasi kemasyarakatan Islam yang ada. Sedangkan kewenangan MUI sebatas fatwa bagi produk-produk Halal yang disertifikasi.
Saat ini, kebutuhan akan Halal sudah menjadi tren global. Beberapa Negara non muslim bahkan sudah terlibat dalam bisnis halal. Seperti Australia dikenal sebagai Negara utama pemasok daging halal untuk Negara-negara Timur-Tengah. Brazil dikenal dengan ekspor daging unggas untuk kebutuhan pasar Timur-Tengah dengan 5 juta ekor unggas perbulan. Bahkan Negara-negara non muslim, seperti Korea dan Jepang, kini rajin mengeluarkan buku panduan makanan & restoran yang halal bagi para turis yang ingin berkunjung ke negaranya.(Gaf)
Untuk lebih lengkapnya seputar UU no. 33 tahun 2014 tetang Jaminan Produk Halal bias diunduh di:
file:///C:/Users/HP/Downloads/UU_No33_Tahun2014_Bahasa%20(1).pdf