Like vs Dislike dalam politik

Like vs Dislike dalam politik
Imam Shamsi Ali*

Islam adalah ajaran yang mengedepankan keseimbangan (tawazun) dalam segala aspek kehidupan. Keseimbangan antara aspek emosi dan rasio, aspek ruh dan fisik, aspek dunia dan akhiratnya. Dan tidak kalah pentingnya adalah aspek penilaian dalam berbagai isu kehidupan, yang kerap kali mengantar kepada keputusan “like” atau sebaliknya “dislike”.

Ilustrasi: Master Plan Mekkah th. 2035

Dalam menimbang-nimbang banyak hal dalam kehidupan, hanya satu yang bersifat mutlak. Hanya iman saja. Keimanan kita kepada “Al-Haq” tidak memiliki ruang kompromi. Hitam putih berlaku dalam hal Iman. Dan kata “imbang” tidak berlaku di aspek keimanan. Kita tidak akan imbang, berada di antara iman dan kufur.

Selain itu semuanya bersifat relatif dan sementara. Sehingga dalam menyikapinya diperlukan “tawazun” (balance). Jika tidak maka pada masanya kita akan terjatuh ke dalam prilaku yang menyempitkan diri sendiri.

Yang paling berbahaya adalah ketika penilaian itu bersifat absolut, sehingga seolah penilaian itu “suci”. Pada tahapan ini bisa jadi seseorang akan terjatuh ke dalam “kesyirikan” tanpa disadari. Karena sejatinya penilaian absolut hanya ada di tangan Allah SWT. Dia yang “Ahkamul haakimiin”. Dia yang Judge of all judges.

Di musim politik seperti saat ini menjadi sangat penting untuk saling mengingatkan. Walaupun disadari bahwa politik itu menjadi sangat penting dan seringkali menentukan “warna” hidup bangsa. Namun harus tetap disadari bahwa politik adalah “siyaasah” atau strategi dalam menejemen publik. Dan ketika berbicara tentang siyaasah, maka hal yang paling dominan adalah “pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan” yang dibangun berdasarkan kepada realita kepentingan yang ada.

Dalam hal pilihan politik, sekali lagi, Islam memberikan tuntunan globalnya. “Dan Kami jadikan dari mereka pemimpin-pemimpin yang memiliki petunjuk (yahduuna) dengan urusan Kami, dalam keadaan sabar (sobaruu), dan mereka yakin dengan ayat-ayat Kami (yuuqinuun).

Yang menjadi masalah kemudian adalah bagaimana menterjemahkan petunjuk-petunjuk global itu ke dalam realita per politikan. Dan tentu lebih khusus lagi ketika sudah sampai kepada realita kandidat yang (let say) sama-sama beragama Islam?

Di sinilah kemudian, dan pasti adanya, terjadi perbedaan penilaian itu. Penilaian yang berbeda dalam memaknai “nilai-nilai Islam” yang ada pada masing-masing pilihan. Seribu kepala akan melahirkan seribu opini tentang siapa kandidat yang paling Islami.

Inilah barangkali juga kenyataan besar yang saya masih gagal paham. Bahwa dalam pilkada lalu terjadi koalisi-koalisi dari partai-partai yang selama ini dipersepsikan, atau menampilkan diri ke masyarakat sebagai partai-partai yang paradoksial (bertolak belakang). Barangkali hal itu terjadi karena pertimbangan di atas?

Yang pasti adalah bahwa selama itu tidak menyangkut nilai yang bersifat absolut tadi, yaitu iman vs kufur, maka harusnya pertimbangan “tawazun” mutlak tetap dipegangi. Apalagi bahwa penilaian itu tetap disadari sebagai penilaian manusiawi. Yang boleh benar, tapi juga boleh salah.

Dalam hal ini Rasulullah SAW mengingatk agar dalam mencintai (like) atau membenci (dislike) hendaknya dilakukan secara wajar-wajar saja. Jangan berlebih-lebihan. Sebab boleh jadi kecintaan kita kepada seseorang hari ini berbalik menjadi seseorang yang dibenci. Atau sebaliknya seseorang yang hari ini dibenci justeru berbalik akan menjadi seseorang yang dicintai esok hari.

Apalagi jika suka dan tidak suka kita itu dibangun di atas pertimbangan-pertimbangan politik, duniawi yang bersifat sesaat. Sekali lagi, bukan mengecilkan kepentingan pertimbangan politik, khususnya dalam menentukan calon pemimpin. Karena pemimpin sekali lagi akan mewarnai perjalanan bangsa minimal lima tahun ke depan.

Yang saya perlu ingatkan, khususnya dalam konteks ukhuwah Islamiyah kita, jangan perbedaan penilaian politik menjadikan iman kita terkontaminasi. Salah satu bentuk kontaminasi iman itu ketika rela mencabik-cabik “ukhuwah Islamiyah” kita karena perbedaan penilaian politik.

Dalam suhu politik yang memanas seperti saat ini, ada satu hal yang bisa menjaga kita dalam hal ini. Yaitu konsisten menjaga hati dan akhlak karimah kita. Satu aspek dari akhlak karimah yang harus dipertahankan di tengah hiruk pikuk politik ini adalah menjaga “husnul-zhonn” (positif thinking) di antara sesama.

Dalam hal agama saja para ulama memakai filasafat: “pendapat saya benar, tapi boleh saja salah. Pendapat dia salah, tapi boleh saja benar”.

Akhirnya kita diingatkan sejarah kelam umat ini. Bahwa pertumpahan darah telah menodai keharuman perjalanan sejarah umat ini disebabkan oleh kecenderungan berpaham absolut dalam hal-hal “khilafiyah”.

Dan pastinya politik tidak jatuh ke dalam aspek “ushuul ad-diin” (dasar-dasar agama). Tapi sebuah ijtihad manusiawi yang disadarian kepada “limaslahatid diin wad-dunya” (kemasalahatan agama dan dunia).

Oleh karenanya jangan korbankan ukhuwah karena perbedaan pandangan politik. Dan pastinya, ikhuwah itu selain bersifat “ushuul” juga bersifat abadi. Saudara di dunia, Insya Allah akan tetap saudara di akhirat. Walaupun beda pilihan politik. Siap?

* Diaspora Indonesia di kota New York

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *