Imam Shamsi Ali*
“Mereka berencana, dan Allah berencana. Tapi Allah adalah sebaik-baik perencana” (Al-Quran).
Dalam mengarungi samudra luas perjuangan menghadirkan cahaya Ilahi ke sudut-sudut penjuru dunia, berbagai gelombang ombak menghalang di tengah samudra luas itu. Gelombang samudra yang menggunung itu kerap kali menjadikan jiwa-jiwa kerdil membangun pessimisme dan putus harapan.
Masih terbayang di hadapan mata, terngiang di telinga suara-suara pessimisme dan kekerdilan jiwa itu ketika terjadi 9/11 beberapa tahun silam. Banyak yang beranggapan bahwa peristiwa itu akan menjadi “kuburan” bagi dakwah dan Islam di Amerika dan dunia Barat umumnya. Bahwa Islam telah mati, dan tidak mungkin lagi akan diterima di belahan bumi Allah yang bernama Amerika itu.
Manusia rupanya gagal paham jikalau yang memegang kendali bumi dan langit adalah Pencipta keduanya. Kontrol pergerakan urat nadi alam semesta terkendali ketat di antara jari jemari Yang Maha Qadiir (Kuat, Penentu). Maka persangkaan pessimis itu dibalik oleh Yang Maha Kuasa menjadi bangunan optimisme dan harapan setinggi langit.
Peristiwa yang disebut-sebut sebagai kuburan Islam, justeru berbalik menjadi momentum awal kebangkitan dakwah di bumi Amerika. 9/11 dinilai puncak atau klimaks tumbuhnya kesalah pahaman terhadapat Islam, yang mengantar kepada kematian pergerakan dakwah di bumi ini. Ternyata sangkaan itu berbalik menjadi awal kebangkitan warga Amerika untuk memahami Islam yang sesungguhnya.
Warga Amerika berbondong-bondong mencari tahu apa sesungguhnya Islam itu. Al-Qur’an dan buku-buku menjadi bacaan terlaris saat itu. Masjid-masjid dan pusat-pusat agama Islam (Islamic Centers) menjadi destinasi kunjungan yang laris. Pemimpin Muslim (Imam) menjadi obyek undangan ke mana-mana, termasuk kantor-kantor pemerintahan, rumah-rumah ibadah agama lain, hingga media massa menjelaskan Islam yang sejati.
Mereka mencari, mendalami, memahami dan menghayati, dan akhirnya menemukan Islam yang sejati. Bahkan banyak di antara mereka yang awalnya mencari Islam untuk tujuan negatif.
Masih teringat cerita suzan, warga Philadelphia, yang pernah mengambil S2 (Master Degree) di Oxford University Inggris di bidang International Security beberapa tahun silam. Salah satu subjek di bawah departemen itu adalah studi agama-agama dalam hubungannya dengan international terrorism (terorisme internasional).
Suzan saat itu memiliki pemahaman yang sangat buruk mengenai Islam. Bahkan dia benar-benar yakin jika Islam adalah sumber terorisme dunia modern. Maka di kelas agama-agama dunia dan terorisme internasional itu, dia betul-betul menaruh perhatian secara khusus tentang di mana dasar dan arah Islam dalam menyebarkan terorisme dunia.
Diam-diam dia membeli Al-Qur’an dan membacanya untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang relasi antara terorisme dan Islam. Ternyata di luar bayangan dia, semakin dia mencari keburukan Al-Quran, tanpa dia sadari hatinya semakin tersentuh dan tertarik untuk mendalaminya.
Kurang dari dua tahun dia membaca Al-Quran, bahkan sekembali ke US dan kerja di kota New York, Suzan masih melanjurkan mencari hakikat Al-Qur’an itu. Dan menurutnya, yang saya temukan “nothing but jewels” (semuanya mutiara-mutiara).
Suzan akhirnya memeluk Islam di Islamic Center New York, lalu bekerja sebagai sebagai Executive Director di sebuah organisasi nirlaba MCN (Muslim Community Networking) di kota New York.
Cerita Suzan hanya satu dari sekian fakta terbalik dari logika manusia. Bahw sebuah peristiwa kelam, bukan berarti selamanya membawa hasil kelam. Juseru kobaran api menjadi “penyelamat” (salaaman) bagi Ibrahim AS. Maka 9/11 juga yang dianggap kuburan Islam itu berbalik menjadi momentum kebangkitan Islam di negara ini.
Islam dan media
Salah satu pemain (aktor) terpenting dalam proses ini adalah media massa. Tentu bukan sesuatu yang mengejutkan. Dunia kita adalah dunia informasi dan komunikasi. Dan kerenanya media kerap kali menentukan warna dunia. Hitam bisa diputihkan. Dan putih bisa dihitamkan dengan bantuan media.
Banyak kalangan juga yang ternyata ingin menggunakan media untuk semakin menggali (apa yang dianggap) kuburan Islam itu. Islam ditampilkan sebagai “sumber” segala permasalahan dunia. Kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan, pelanggaran HAM dan hak-hak wanita, hingga kepada kekerasan-kekerasan dan terorisme dunia. Di mana ada kekerasan dan teror, di situ Islam berperan. Dan di mana ada Islam, akan timbul kekerasan dan terorisme.
Media massa, termasuk film-film Hollywood, penuh dengan nuansa itu. Di mana ada pemandangan terorisme dalam sebuah film, atau kekerasan kepada minoritas dan wanita, Islam yang yang ditampilkan. Dan jelas pengaruhnya nyata dan luar biasa. Warga Amerika menjadikan media, termasuk film-film itu seolah sumber kebenaran. Sementara kitab-kitab suci hanya bacaan seremonial di rumah-rumah ibadah.
Tapi sekali lagi, Allah membolak balik realita. Berbagai propaganda negatif itu berbalik menjadi positif dengan kuasa Allah.
Beberapa waktu lalu, atas undangan teman saya Russell Simmons, saya memberikan presentasi Islam di Hollywood. Hadir banyak bintang untuk menghormati undangan Russell Simmons, yang lebih dikenal sebagai “hip hop mogul” (raja hip hop). Ternyata sambutannya luar biasa. Mereka berjanji untuk memainkan peranan mereka secara lebih positif dalam membangun imej positif Islam di dunia perfileman.
Dulu di Amerika untuk menampilkan Islam di media massa begitu berat. Mereka tidak peduli dengan agama, apalagi dengan Islam. Yang mereka akan tampilkan adalah hal-hal sensasi yang mudah dijual (sellable) dan meraut keuntungan (profit). Kini media memburu komunitas Muslim ingin mencari tahu sumber-sumber Islam yang sesungguhnya.
Saya sendiri dengan segala keterbatasan kerap menjadi buruan itu. Bahkan media yang sangat kental anti Islamnya, Fox New misalnya, selalu ingin mengundang saya sebagai nara sumber. Hanya saja saya yang membatasi diri karena sadar terkadang media ingin sekedar mencari justifikasi (pembenaran) dari sebuah isu yang disampaikan ke publik.
Tapi intinya adalah Islam menjadi magnet dengan daya tarik tinggi di media massa saat ini. Dan bagi saya hal ini merupakan “blessing in disguise” di tengah terpaan imej negatif itu. Saya justeru ingin media memburu umat ini. Biarkan mereka mengekspos apa dan bagaimana sesungguhnya kehidupan umat ini.
Saya ingin media itu; tv, radio, surat kabar dan majalah, maupun berita online mendatangi rumah-rumah Muslim, kampung Muslim, negara-negara Muslim, dan melaporkan apa dan bagaimana ketika Islam menjadi petunjuk hidup manusia. Dengan Islam itu bagaimana kehidupan pribadi, keluarga, bahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara umatnya?
Tantangannya kemudian adalah siapkah dan mampukan umat ini menjadi representasi Islam sesungguhnya dengan eksposur media itu? Jangan-jangan kita yang akan menjadi “misrepresentasi” dari Islam yang sesungguhnya. Dan pada akhirnya, seperti kata seorang ulama, Islam tersembunyi oleh prilaku umatnya. Semoga tidak!
New York, 20 Juli 2018