oleh: Imam Shamsi Ali*
Beberapa waktu yang lalu saya pernah menulis, bahkan menceramahkan dalam berbagai forum, jika keadilan itu sifatnya universal, bersifat umum dan terbuka untuk semua.
Maknanya, Keadilan itu tidak mengenal warna atau versi. Tidak ada keadilan versi Muslim, versi Kristen, versi Yahudi, Hindu, Buddha dan seterusnya. Tidak ada juga keadilan ala Amerika, Inggris, Saudi atau ala Indonesia.
Keadilan ya keadilan. Selain keadilan hanya ada ketidak adilan alias kezholiman.
Keadilan juga tidak ditentukan, diwarnai atau dibentuk oleh bilangan manusia yang mengusungnya. Tidak juga berapa jumlah manusia yang memiliki sentimen dukungan kepadanya.
Dengan kata lain, keadilan tidak ditentukan oleh kata mayoritas atau minoritas. Keadilan akan tetap keadilan jika memang adil walau ditentang mayoritas. Dan kezholiman tetap kezholiman jika zholim walau didukung oleh mayoritas.
Kali ini saya akan coba nimbrung di dalam dua hal yang cenderung ditanggapi secara ”tidak proporsional”, bahkan tidak adil pada tingkatan tertentu. Biasanya karena banyak yang hanyut oleh lingkungan emosi sesaat. Ada juga karena terbawa arus persepsi yang dibangun secara sistimatis.
Isu radikalisme
Sejak lama kata ini menjadi sesuatu yang tidak saja ”undesirable”. Lebih dari itu kata radikalisme menjadi kata yang menakutkan. Bagaimana tidak. Radikalisme memang dipahami sebagai batu pijakan ke tangga ”terrorisme”.
Terjadinya peristiwa 9/11 di Amerika tahun 2001 lalu, kata itu menjadi momok yang semakin menakutkan. Perang melawan terorisme (war on terror) tidak jarang juga dipahami sebagai perang melawan radikalisme. Karena radikalisme dianggap sebagai tunas terorisme.
Semua itu normal, wajar bahkan harusnya demikian. Semua harus membangun kesadaran (awareness) tentang radikalisme dan bahayanya. Segala upaya harusnya memang dilakukan agar radikakisme dapat diredam dan diatasi.
Radicalism dalam banyak hal tidak saja mengganggu dan membahayakan tetangga-tetangga non Muslim. Bahkan seringkali menjadi sumber masalah dan perpecahan di kalangan umat ini sendiri.
Karenanya sekali lagi radikalisme harus diredam, dilawan, bahkan jika memungkinkan dieliminir.
Masalahnya kemudian adalah terjadi ”manipulasi” isu radikalisme. Dengan kata lain terjadi ”abuse” (penyalah gunaan) kata itu berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu.
Sebagai misal, begitu mudah melabeli orang lain sebagai radikal hanya karena secara pilihan politik berbeda dengan Kita. Hal ini nampak lebih kental di musim-musim politik. Bahkan ada daerah-daerah tertentu yang dilabeli radikal, atau dalam ekspresi lain daerah garis keras, hanya karena perbedaan pilihan politik.
Terkadang juga kata radikal memang dibangun untuk melabel mereka yang punya kesungguhan dan komitmen dalam beragama. Padahl mereka tidak membahayakan siapa-siapa. Bahkan sangat sejuk dan damai dalam kehidupan sosialnya.
Kesalahan mereka adalah hanya karena mereka sungguh-sungguh dan berkomitmen tinggi dalam menjalankan ajaran agama mereka. Iman mereka pertahankan, ibadah mereka jaga, bahkan penuh kesungguhan dalam menjalankan ajaran agama pada tataran sosialnya. Karena itulah mereka pun dilabel radikal.
Sejujurnya tanpa disadari oleh sebagian umat, tuduhan radikalisme kepada mereka yang sungguh-sungguh dalam beragama ini memang dibangun secara sistimatis oleh orang lain sebagai bagian dari membangun persepsi yang salah mengenai agama dan umat. Sayangnya ada saja sebagian dari umat ini yang terbawa arus, dan menjadi korban. Bahkan terkadang lebih getol menuduh sesama Muslim sebagai radikal.
Inilah satu dari dua hal yang ingin saya luruskan. Bahwa radikalisme bukan kesungguhan dan komitmen dalam menjalankan agama. Sebab jika radikalisme adalah kesungguhan dan komitmen penuh dalam beragama, ketahuilah sesungguhnya saya termasuk dari mereka yang dituduh radikal.
Film the Santri
Di sisi lain saya juga ingin nimbrung mengomentari film ”the Santri” karya Livi Zheng dan disutradarai bersama PBNU (Pengurus Besar Nahdhotul Ulama).
Sejak diluncurkannya film ini menjadi controversial dan menuai banyak kritikan. Entah itu karena dikomandoi oleh seorang non Muslim, keturunan China, walau lahirnya di bumi Jawa?
Atau mungkin juga karena film ini diinisiasi oleh Ketua Umum NU, sosok yang selama ini dianggap kerap memilih posisi yang berseberangan dengan ”rata-rata” anggota umat ini.
Apapun itu saya harus jujur bahwa saya belum menonton sepenuhnya film tersebut. Saya hanya mendengar dan membaca beberapa komentar tentang film itu. Baik yang mengeritik maupun yang mendukung (dan membenarkan).
Saya ingin memulai dengan mengatakan bahwa dengan kekurangan (dan mungkin kesalahannya) saya tentunya senang dan bangga dengan film itu. Minimal karena dua alasan.
Pertama, karena saya kenal Livi Zheng sebagai salah seorang anggota diaspora Indonesia yang cukup mengharumkan nama negeri ini. Prestasi yang diraihnya di kampung Hollywood di Amerika membawa semerbak harum nama Indonesia. Dan kini Livi Zheng kembali ke tanah air untuk mendedikasikan potensinya untuk negeri tercinta.
Selain the Santri, Livi juga sudah mensutradarai sebuah film yang mengenalkan keindahan Bali.
Kedua, dengan segala kekurangannya kehadiran film the Santri ini akan merubah wajah santri dari wajah lama yang kumuh, terbelakang, kotor, penampungan anak-anak nakal dan (maaf) pembuangan sekolah-sekolah bermutu menjadi wajah sebaliknya. Minimal kata santri akan semakin dikenal (popular), khususnya jika film ini bisa go global.
Sekalian tentunya pesantren akan menjadi alternatif dari kata ”madrasah” sebagai pusat keilmuan Islam traditional. Maklum kata Madrasah telah terbangun di mata Barat sebagai kata yang relevan dengan keras, kaku, bahkan fundamentalis dan radikal.
Lalu di mana letak relevansi kritikan sebagian kepada the Santri?
Saya dengar kebanyakan kritikan itu ada pada dua poin.
Pertama, adegan di mana ada semacam ikhtilath atau percampuran Antara pelajar pria (santri) dan pelajar wanita (santriyah).
Kedua, adanya adegan santri masuk gereja untuk memberikan hadiah tumpeng ke pendeta gerejanya.
Isu ikhtilath
Isu pertama di atas sesungguhnya bukan sesuatu yang perlu dibesarkan. Sejatinya sebuah film memang dikenal akan menampilkan sesuatu yang tidak biasa, tapi dapat memancing perhatian.
Kita kenal bahwa pesantren pada umumnya memisahkan santri dan santriyahnya. Tapi ada juga pesantren yang justeru santri dan santriyah masih belajar pada ruang yang sama. Walaupun pastinya terpisah tempat tinggal atau asrama.
Bahkan yang terpisah kelas pun tidak jarang pada acara-acara tertentu mereka berada pada aula atau gedung yang sama. Minimal ini yang saya alami ketika nyantri di pondok pesantren.
Pada saat-saat seperti itulah, seperti yang digambarkan di film the Santri terjadi saling melirik dan tersenyum menggoda. Sesungguhnya sisi natural kehidupan santrilah yang ingin ditampilkan pada film itu. Bahwa santri/santriyah itu adalah remaja biasa dan manusia biasa yang secara alami mengalami ketertarikan kepada lawan jenisnya.
Menjadi santri bukan berarti menjadi suci nan malaikat. Seolah dunia ini syetan. Dan tangan kananya syeta itu adalah wanita. Karenanya wanita harus menjauh dari kehidupan orang-orang suci itu.
Hukum masuk gereja
Isu kedua adalah isu masuk gereja atau rumah ibadah orang lain. Benarkah hal itu dilarang?
Perlu juga dicatat bahwa terkadang penilaian kita, bahkan dalam hal yang menyangkut hukum agama sekalipun, dimotivasi oleh bentuk emosi sesaat yang terjadi. Kalau emosi sedang membenci maka apapun masalahnya cenderung disalahkan.
Dalam ajaran Islam belum pernah kita ketemukan pelarangan memasuki rumah ibadah agama lain, selama itu tidak dimaksudkan sebagai bagian dari ibadah ritual.
Dengan kata lain, memasuki rumah ibadah orang lain selama itu bukan untuk melakukan ibadah ritual tidak dilarang oleh agama ini.
Contoh paling popular dalam sejarah barangkali adalah ketika Umar datang ke Jerusalem untuk menerima kunci Kota Itu dari gubernurnya. Salah satu kegiatan Yang beliau lakukan adalah memasuki sebuah gereja. Nama gereja itu dalam bahasa Inggrisnya adalah “Church of the Holy Sepulchre”.
Di saat berada di dalam gereja itu beliau ditawari untuk sholat. Konon kabarnya waktu sholat Ashar tiba. Umar sang Khalifah menolak. Penolakan itupun bukan karena pertimbangan hukum agama. Justeru karena pertimbangan sosial dan hubungan antar pemeluk agama. Khawatir jika beliau sholat dalam gereja itu lalu umat Islam menganggap gereja itu telah diambil alih oleh sang Khalifah.
Umat Islam di dunia Barat, termasuk Amerika bahkan di beberapa tempat mengadakan jumatan di gedung-gedung gereja yang disewakan atau bahkan dipinjamkan oleh gereja tersebut.
Karenanya menyalahkan the Santri karena adegan santri masuk gereja bukan untuk tujuan ibadah (misa), tapi untuk membangun hubungan yang baik dengan jamaah geraja itu saya rasa tidak pada tempatnya.
Saya sendiri khususnya pasca 9/11 di tahun 2001 sering ke gereja-gereja untuk memberikan penjelasan tentang Islam yang sesungguhnya ke banyak kalangan.
Haramkah itu saya lakukan? Bayangkan jika momentum saat itu tidak saya pergunakan untuk meluruskan persepsi yang terbangun tentang Islam. Barangkali kebencian dan kemarahan orang Amerika tidak reda hingga kini.
Kesimpulannya film the Santri memang tidak ideal dan tidak sempurna. Tapi bisa menjadi jalan bagi banyak kemanfaatan di masa depan. Khususnya bagi santri dan pesantren secara umum.
Meluruskan yang bengkok
Saya sengaja membahas dua isu di atas; isu radikalisme dan isu film the Santri, sebenarnya penekanannya bukan pada substansi kedua isunya. Tapi lebih kepada mengingatkan kita semua untuk selalu proporsional dalam melakukan penilaian (judgement).
Benar salahnya atau bagus buruknya sesuatu bukan dinilai pada siapa di balik dari sesuatu itu. Tapi nilailah baik karena memang baik. Atau sebaliknya nilailah buruk kalau memang itu buruk. Walaupun hal itu barangkali bertentangan dengan pandangan dan kepentingan diri sendiri.
Maka dengan semangat keadilan itulah saya akan selalu berada pada posisi ”meluruskan yang perlu diluruskan”. Semoga Allah ridho!
New York, 21 September 2019
- Presiden Nusantara Foundation & Pendiri pondok pesantren Nur Inka Nusantara MADANI Amerika Serikat.