oleh: Imam Shamsi Ali*
Jika melihat perkembangan Islam di Amerika, tidak disangkal lagi bahwa saat ini ada semacam realita paradoks yang sedang terjadi. Di satu sisi tantangan Islamophobia semakin menjadi-jadi. Terlebih di bawah pemerintahan Donald Trump saat ini. Tapi di sisi lain Islam juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tidak saja secara kwalitas, tapi juga yang terpenting secara kwalitas.
Salah satu contoh terakhir adalah terpilihnya dua orang wanita muda Muslimah ke Kongress Amerika. Satu warga keturunan Palestina dan satu lagi warga keturunan Somalia. Dua negara asal yang sejatinya dapat dilihat secara sebelah mata (under estimated).
Terpilihnya dua warga Amerika Muslim ini, apalagi dua wanita dan satunya berjilbab rapih, menjadi catatan sejarah tersendiri bagi perjalanan dakwah dan perkembangan Islam di Amerika Serikat. Apalagi keduanya merupakan suara vokal anti berbagai kebijakan Donald Trump yang diskriminatif, khususnya kepada imigran dan Muslim.
Perkembangan Islam yang demikian tentu semakin nampak di mata publik Amerika. Penampakan itu secara alami pula akan menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan (phobia) bahkan kebencian (hate). Situasi ini semakin memburuk karena seolah mendapat “justifikasi” kekuasaan dari Gedung Putih.
Pendirian pesantren di Amerika
Merujuk kepada keadaan ini semakin meyakinkan bahwa rencana pendirian pondok pesantren di Amerika semakin menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Tentu sebuah proyek yang boleh dianggap “ambisius” Dan mimpi yang mungkin oleh sebagian dilihat “menggantung” (very high).
Urgensi pendirian pondok pesantren Amerika ini dapat dilihat pada dua sisi keadaan Islam di Amerika. Pada sisi kemajuannya pesantren dapat menjadi pengendali dari situasi “lupa diri”. Sehingga pada akhirnya umat merasa terbebas dari beban-beban tanggung jawabnya.
Bahwa kerap kali umat terbuai dengan kemajuannya dan menjadi cengeng dalam perjuangan. Sehingga dalam perjalannya umat kehilangan banyak momentum yang sesungguhnya peluang besar bagi kemajuan dakwah.
Pada sisi lain pesantren akan menjadi jawaban yang signifikan dan efektif terhadap meningginya Islamophobia di Amerika. Pesantren adalah respon Islamophobia dengan aksi (a response by action). Minimal pada dua sisi.
Pertama, dengan pendekatan pendidikan untuk mengurangi kesalah pahaman terhadap Islam. Dan kedua, pada sisi terbentuknya komunitas baru yang langsung berinteraksi dengan warga setempat.
Diharapkan pesantren nantinya akan menjadi perkampungan percontohan Muslim yang dirasakan keberadaannya sebagai “kontribusi”. Dan bukan ancaman (threat) yang menakutkan.
Karenanya ke depan pesantren akan menjadikan “outreach” sebagai salah satu prioritas programnya. Melakukan pendekatan secara persuasif dengan tetangga-tetangga sehingga merasakan kehadirannya sebagai “bagian” dari mereka sendiri.
Urgensi untuk Indonesia
Sebagaimana berulang kali disampaikan sebelumnya bahwa rencana pendirian pondok pesantren ini juga tidak terlepas dari motif untuk memajukan kepentingan Indonesia. Menjadi bagian kesadaran saya pribadi sebagai putra bangsa untuk melihat Indonesia mendapat “kredit” dari pendirian pesantren ini.
Indonesia adalah negara besar. Negara yang punya sejarah besar. Dan negara yang memiliki posisi strategis dalam tatanan dunia global kita. Tentunya juga Indonesia adalah negara dengan potensi yang luar biasa, termasuk potensi SDM dan SDAnya.
Tapi dalam konteks keagamaan khususnya, tentunya yang paling mendasar dari semua itu adalah kenyataan bahwa Indonesia saat ini adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Sehingga alaminya Indonesia harus lebih dikenal, bahkan seharusnya memainkan peranan signifikan dalam pengembangan Islam di dunia global.
Dalam konteks inilah kemudian pendirian pondok pesantren Nusantara Madani menjadi sangat krusial. Bahwa pesantren ini dapat menjadi salah satu corong untuk mengenalkan Indonesia, dan Muslim Indonesia secara khusus.
Saya sangat yakin jika pemerintah Indonesia dan seluruh bangsa Indonesia ingin melihat negara ini dikenal dan mendapat penghormatan lebih ke depan. Bangsa yang tidak sekedar dikenal sebagai pengekspor tenaga kerja atau “domestic workers” (TKI/TKW). Tapi bangsa yang mampu menjadi pelopor dalam kebajikan di mana saja.
Oleh karenanya harapan itu sangat besar untuk semua pihak dapat melihat proyek pendirian pondok pesantren ini sebagai peluang untuk menempatkan bangsa kita di posisi itu. Warga Indonesia yang bisa berbuat di atas kebiasaan biasa-biasa (conventional) dengan berdirinya pondok pesantren pertama di Amerika Serikat.
Harapannya memang agar upaya ini mendapat dukungan penuh dari dari seluruh elemen bangsa, baik pemerintah maupun rakyat. Tujuannya sekali lagi untuk menjadi jusitifikasi sejarah masa depan bahwa pesantren ini adalah memang “kontribusi” nyata Indonesia di gelanggang dakwah global. Semoga!
* Presiden Nusantara Foundation dan Pendiri pondok pesantren di Amerika. (Nusantara Foundation tidak ada kaitannya dengan Islam Nusantara yang kontroversi itu)