JAKARTA (iHalal.id)—Empat tahun sudah UU Jamin Produk Halal (JPH) diundangkan. Namun, UU tersebut belum bisa dijalankan. Sebab, Peraturan Pemerintah (PP) yang diamanatkan terbit dua tahun sejak UU Nomor 33 Tahun 2014 tesebut diundangkan, hingga saat ini belum juga terbit.
Pada pasal 65 UU JPH mengamanatkan agar dua tahun setelah UU tersebut diundangkan, Presiden harus menerbitkan PP (Peraturan Pemerintah). Tak kunjung terbitnya PP, akhirnya dorongan untuk mengamandemen pasal 65 UU JPH.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Indonesia Halal Watch (IHW) di Hotel Aryaduta Gambir, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu, seperti dilansir laman LPPOM MUI (6/12), mayoritas peserta FGD mengungkapkan keinginannya agar pasal tersebut diamandemen. Tujuannya, agar ada kepastian hukum.
Direktur LPPOM MUI, Dr. Lukmanul Hakim, M.Si., mengatakan berlarut-larutnya penerbitan PP UU JPH ini mengingatkan dia saat awal-awal memperjuangkan RUU JPH. Menurut dia, RUU JPH ini sempat deadlock dua kali sejak pertama kali diajukan 2005. “Tahun 2005 deadlock. Kemudian 2010 kembali deadlock. Baru 2014 Undang-Undang ini disahkan. Saya sampai bolak-balik RDPU di DPR,” cerita Lukman. Namun, lanjut Lukman, urusan belum selesai meski UU JPH telah disahkan. Saat ini pihaknya tengah menunggu dan mendorong terbitnya PP.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah pada kesempatan ini mendorong agar pasal 65 UU JPH diamandemen atau dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. “Proses amandemen atau judicial review ini membutuhkan waktu tiga bulan hingga satu tahun. Untuk mengisi kekosongan, maka urusan sertifikasi halal ini diserahkan kepada MUI,” jelas Ikhsan.
Menurut Ikhsan, pemberian wewenang kepada LPPOM MUI ini agar dunia usaha tetap berjalan dan tidak dirugikan. Hanya saja, ia meminta pemerintah dapat membantu lembaga ini “Kalau MUI melaksanakan mandatory sertifikasi halal maka bebannya sangat berat. Maka perlu ada penguatan kelembagaan sehingga pemerintah juga harus membantu lembaga, ini hal normal karena pemerintah sifatnya memberikan support,” ungkap Ikhsan.
Namun, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana, yang menjadi narasumber FGD mengungkapkan ada tiga cara untuk membatalkan pasal 65 JPH. “Bisa dengan cara diamandemen, judicial review, atau penerbitan Perpu. Sedangkan yang paling ideal itu judicial review karena untuk amandemen akan memakan waktu lama, dan untuk Perpu harus ada unsur daruratnya,” ungkap dia.
Ahli Hukum Administrasi Negara FH UI, Harsanto Nursadi, mengatakan membuat UU itu lebih mudah daripada membuat peraturan pelaksanaanya. Dijelaskan Harsanto, membuat UU hanya perlu lobi-lobi antar anggota DPR, sedangkan pembuatan PP ada banyak kepentingan yang bersentuhan antar kementerian.
Harsanto mengamati, tak hanya PP UU JPH yang belum terbit, peraturan UU yang diterbitkan pada 2014 seluruhnya belum ada peraturan pelaksananya. Agar PP UU JPH ini segera terbit, ia meminta agar dilakukan pendekatan kepada kementerian terkait. “Kita cukup mendorong kepada kementerian terkait agar PP tetap dikeluarkan, karena jika menggunakan cara lain akan menyita banyak waktu apalagi di tahun politik sepeti ini dikhawatirkan menimbulkan efek yang kurang bagus,” kata Harisanto. (Red)