Muhammad SAW: Sang Mutiara (bagian – 02)

Oleh: Imam Shamsi Ali*

Salah Satu hal yang biasa dipahami secara tidak proporsional tentang Rasulullah SAW adalah bagaimana relasi dan kewajiban Umat ini kepada beliau. Apakah relasi darah, ras atau suku? Apakah relasi kebangsaan? Atau relasi Umat ini dengan beliau jauh melebih semua bentuk relasi kemanusiaan apapun?

Relasi Umat dan Rasulullah ternyata sebuah relasi yang melebihi relasi sosial kemanusiaan apapun. Melebihi relasi darah dan kekeluargaan, ras dan etnis, dan juga kebangsaan. Relasi umat dan Rasulnya adalah relasi “hati”.

Relasi hati ini yang terekspresikan dalam wujud keimanan (Al-iman), kecintaan (al-hubb), dan kasih sayang (ar-Rahmah).

Ayat-ayat yang menjelaskan tentang keimanan itu begitu banyak. Salah satunya di surah Al-A’raf ayat 157: “Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang beruntung.”

Kecintaan Umat ini kepada beliau juga dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah SAW. Bahkan digambarkan bagaimana kecintaan kepada beliau melebihi kecintaan seseorang kepada diri, orang tua dan anak, dan kepada siapapun. Rasulullah sendiri misalnya dalam sebuah hadits menekankan: “Tidak beriman di antara kalian hingga dia mencintai aku lebih dari orang tuanya, anaknya, dan semua manusia”.

Penggambaran kasih sayang yang ada di antara Rasul dan Umatnya digambarkan dalam Al-Quran Surah Muhammad: “Muhammad Rasulullah. Dan yang orang-orang yang bersamanya tegas kepada orang-orang kafir dan saling mengasihi di antara mereka”.

Yang ingin juga saya uraikan kali ini secara singkat adalah apa saja kewajiban utama Umat ini kepada baginda Rasulullah SAW. Kewajiban itu mencakup 6 hal:

Satu, kewajiban mengenal Rasulullah (Ma’rifatur Rasul). Dalam agama ini memang semuanya berdasarkan kepada ma’rifat. Iman kepada Allah sekalipun esensinya karena ma’rifat. Karenanya dasar dari semua relasi umat dan Rasul adalah ma’rifat (mengenal). Bagaimana mungkin mengimani, mencintai tanpa mengenalnya? Di sìnilah salah satu makna urgensi belajar sirah Rasul SAW.

Dua, kewajiban menginami Rasulullah seperti yang disebutkan di atas. Syahadat Laa ilaaha illa Allah tidak sempurna dan tak akan diterima tanpa syahadat kepada Rasulullah: Asyhadu anna Muhammad Rasulullah. Kewajiban ini bukan sekedar mengimaninya sebagai Rasul. Tapi mengimaninya sebagai Rasul yang terakhir dan membawa ajaran yang sempurna.

Tiga, mencintai Rasulullah. Selain sebagai persyaratan iman kepada beliau, mengimaninya juga menjadi prasyarat untuk membersamai beliau di dalam syurgaNya Allah SWT. Kesimpulan ini diambil dari pertanyaan seorang sahabat tentang hari Kiamat yang berujung pada: “engkau akan bersama dengan siapa engkau cintai di dalam syurga”.

Empat, menauladani dan mengikuti (mentaati) Rasulullah. Ayat tentang Ketauladanan tentunya sangat populer (laqad kaana lakum fii Rasulillah uswatun hasanah). Demikian pula penegasan prasyarat iman kepada Allah dengan mengikuti Rasulullah (qul inkuntum tuhibbuna Allaha fattabi’uun). Dalam hadits lain Rasulullah menekankan bahwa semua umatnya akan masuk syurga kecuali yang membangkang. Ketika ditanya siapa pembangkang itu? Beliau menjawab: “siapa yang mentaatiku masuk syurga. Tapi siapa yang tidak mentaatiku maka dia membangkang”.

Lima, membela kemuliaan dan kehormatan Rasulullah. Selain memang bagian dari keimanan untuk membela (nashoruuh wa azzaruuhu) kecintaan (rasa emosi atau sentimen) Umat ini melebihi kepada diri dan siapapun. Kecintaan ini menumbuhkan rasa “ghirah” atau kecemburuan dan kemarahan jika kehormatan dan kemuliannya dirusak. Teman-teman non Muslim, khususnya di dunia Barat, gagal memahami ini. Sehingga mereka terkadang terheran-heran ketika Umat ini siap berkorban membela Rasulnya.

Enam, melanjutkan misi (dakwah) kerasulan Muhammad SAW. Rasulullah adalah utusan Allah yang terakhir. Beliau dikenal sebagai “penutup kenabian” (khatamun nabiyyin). Pada sisi lain beliau adalah Rasul untuk seluruh alam (alamin) hingga akhir zaman.

Konsekwensi logis dari kenyataan itu adalah bahwa misi risalah dan kenabian mutlak berlanjut ke seluruh penjuru alam hingga akhir masa. Karenanya dengan wafatnya Rasulullah Umat ini dengan sendirinya diamanahi untuk melanjutkan misi itu. Ragam ayat dalam Al-Quran menegaskan kewajiban itu. Satu diantaranya adalah: “katakan (wahai Muhammad) inilah jalanku. Yaitu mengajak ke jalan Allah, saya dan siapa saja yang menjadi pengikutku”.

Demikian enam kewajiban umat terhadap Rasulullah yang wajib dijalankan dan dijaga hingga akhir zaman. Pengakuan sebagai Umat tapi pada saat yang sama tidak mengikuti keenam hal yang dimaksud boleh jadi sebuah pengakuan palsu..

اللهم صل علي محمد!

NYC Subway, 12 Oktober 2022

  • Presiden Nusantara Foundation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *