oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi*
Seringkali ada di antara kita yang salah kaprah. Memahami bahkan meyakini seolah nilai dari sebuah perjuangan ada pada bentuk akhir dunianya. Dan akhir duniawi itu juga pada umumnya dipahami berdasarkan “mindset” (pandangan) manusiawi yang relatif dan terbatas.
Kandidat Presiden No. Urut 1 Anies Baswedan melakukan doa bersama dengan para tokoh agama di rumah kediaman K.H Syukron Ma’mun (kiri, duduk). Turut hadir antara lain K.H Toifur Mawardi (kanan, duduk), Pimpinan Ponpes Purworejo Jawa Tengah, jelang pencoblosan Pemilu 14 Februari 2024. (Foto: Istimewa).
Sekiranya saja kita kembali melihat-lihat dasar agama (Al-Quran dan Al-Hadits) dan basis keimanan kita, pastinya akan dipahami bahwa nilai dari sebuah sebuah perjuangan bukan pada akhir duniawi yang kita inginkan. Keinginan kita itu penuh relatifitas dan pastinya dibatasi oleh batasan-batasan manusiawi. Boleh jadi ada keinginan yang sesungguhnya justeru tidak baik bagi kita. Dan boleh jadi ada yang kita tidak inginkan “dan Allah jadikan padanya kebaikan yang banyak”. Terkadang kebaikan itu didatang melalui ujian dan cobaan.
Keinginan kita untuk melihat hasil akhir dari sebuah perjalanan ikhtiar itu sifatnya manusiawi. Tapi hasil akhir dari dari jalan juang itu sifatnya Keputusan Samawi (Divinely decreed). Karenanya tanggung jawab kita adalah memastikan sisi-sisi manusia itu. Dan tidak perlu, bahkan kita tidak punya hak untuk mengintervensi bentuk akhir dari ikhtiar itu.
Oleh karena tanggung jawab kita ada pada aspek ikhtiar dan proses maka itulah yang harus kita pastikan jika semua dilalui dengan cara-cara yang dapat dipertanggung jawabkan. Tentu dengan mengingat dan sadar bahwa proses-proses itulah yang akan menjadi pertanggung jawaban, baik di dunia mau di akhirat kelak. “Maka barangsiapa yang melakukan kebaikan…atau… keburukan” sekecil apapun itu akan dilihat (dinilai dan dipertanggung jawabkan).
Jika pemahaman di atas kita tarik ke dalam konteks pilpres kali ini maka pastinya kita paham. Ketika para pendukung all out melakukan dukungannya itu sangat wajar. Secara Islam pun demikian. Kita yang beriman diperintahkan untuk berikhtiar yang terbaik. “Dan bekerjalah. Maka Allah akan melihat amalmua, RasulNya dan orang-orang beriman”. Bahkan kita diperintahkan untuk berbuat dengan sepenuh hati: “sesungguhnya Allah mencintai ketika dia melakukan sesuatu, dia lakukan dengan itqan (sepenuh hati”.
Tapi jangan lupa, dia di seberang sana (Iblis) juga melakukan dengan semangat yang sama, bahkan lebih. Iblis akan menggoda dan menyesatkan manusia tanpa batas waktu dan ruang: “dari depan, belakang, kiri dan kanan, atas dan bawah”. Bahkan meminta agar dia melakukan itu hingga akhir zaman: “hingga hari mereka dibangkitkan”.
Sadar dengan realita pertanggung jawaban akan proses dan ikhtiar ini menjadikan kita harusnya memastikan jika ikhtiar dan proses itu benar dan baik. Bahwa ikhtiar dan proses yang kita lakukan itu jauh dari berbagai manipulasi dan pelanggaran hukum dan etika. Proses dan ikhtiar kita lalui dengan cara-cara yang baik dan benar, sesuai aturan, moral dan standar etika yang ada.
Dalam konteks pilpres kali ini, sekali lagi saya tekankan, bahwa kekuasaan memang hasil akhir duniawi dari perjuangan itu. Tapi saya pastikan lagi bahwa kekuasaan itu diberikan oleh Dia Yang memiliki kekuasaan di langit dan di bumi: “Katakan: Wahai Tuhan Yang memiliki kekuasaan. Engkau berikan kekuasaan itu kepada siapa yang Engkau kehendaki. Dan Engkau cabut Kekuasaan itu dari siapa yang Engkau kehendaki”.
Kekuasaan itu pernah diberikan kepada Fir’aun, ‘Aad, Namrud, Tsamud, dan Abu Jahal/Lahab. Tapi kekuasaan juga pernah diberikan kepada Daud, Sulaeman, Dzulqarnain, dan juga kepada Rasulullah SAW. Kekuasaan diberikan untuk tujuan dan hikmah yang Allah kehendaki dan ketahui.
Yang harus kita pastikan sebagai umat dan rakyat yang berakal sehat dan berhati bersih adalah melakukan semua ikhtiar dan usaha yang memungkinkan “with all hearts and minds” (dengan segala daya) dengan benar dan jujur. Sehingga kekuasaan dapat diberikan kepada orang-orang yang baik. Kita harus ingat: “it’s enough for evil to thrive when the good people say or do nothing” (cukuplah bagi kejahatan menang ketika orang-orang baik diam atau tidak melakukan apa-apa).
Jangan biarkan orang baik berjuang sendirian. Besok bangsa Indonesia akan menentukan pilihannya. Pastikan, gunakan akal sehat dan hati nurani untuk menentukan mana pilihan terbaik bagi bangsa dan negara tercinta!.
Aminkan hingga menang. Salam perubahan dari Kota New York!
NYC Subway, 13 Pebruari 2024
* Tokoh Diaspora, tinggal di New York.