Partai Politik: “Harapan dan Kenyataan”

Oleh : Idat Mustari*

Bagi mereka yang lahir di era 70 an pasti merasakan—mengalami rasa, suasana pesta demokrasi saat itu.  Jalanan semarak dengan bendera kuning identitasnya Golongan Karya—yang tidak mau disebut sebagai partai politik. Warna Hijau untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan merah untuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Pemenangnya pun sudah bisa ditebak yakni Golongan Karya. PPP dan PDI hanyalah pelengkap dari proses politik serasa demokrasi padahal hanyalah cara untuk mengukuhkan rezim yang berkuasa pada waktu itu, yakni mengangkat—mengukuhkan kembali Soeharto sebagai Presiden.

Di masa Orde Baru, tak ada pemilihan kepala daerah. Mereka yang jadi kepala daerah baik Gubernur, Bupati atau walikota adalah mereka yang ditunjuk—diangkat oleh Presiden. Biasanya orang yang jadi Gubernur ataupun Bupati berasal dari kalangan militer.

Berjalannya waktu, era Orde Baru pun tumbang diganti era Reformasi. Era reformasi dipercaya sebagai jawaban atas tumbangnya era Orde Baru.Era kebebasan yang membuka kesempatan seluruh komponen bangsa untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Partai politik dipandang sebagai sarana penyaluran aspirasi rakyat untuk menata demokrasi Indonesia yang lebih tranpasan dan berkeadilan. Itulah cita-cita luhur dari era Reformasi.

Era Reformasi memberi kesempatan kepada siapa pun yang ingin mendirikan Partai Politik.  Partai Politik pun bermunculan bak cawan di musim hujan. Puluhan partai politik didirikan. 1999 Pemilu pertama di era reformasi  diikuti oleh 48 partai. Sedangkan di Pemilu 2024 diikuti oleh 17 partai politik.  Tentu banyak macam motivasi orang mendirikan Partai Politik, namun bisa dipastikan bahwa karena partai politik adalah  satu-satunya wasilah (sarana) meraih tujuan pragmatisme politik yakni kekuasaan baik ditingkat pusat ataupun daerah. Di legislatif ataupun eksekutif.

Partai politik satu-satunya kendaraan yang bisa mengantarkan seseorang jadi anggota legislatif dan atau jadi kepala daerah hingga presiden. Partai politik akan saling bersaing satu sama lainnya, di arena Pemilu Legislatif, berupaya meraih kursi parlemen sebanyak-banyaknya. Meskipun di arena lain,  di Pilkada, ataupun Pipres, terjadi kesepakatan, bergandengan tangan atau koalisi antar satu partai dengan partai lainnya. Hingga tak aneh jika ada Partai berbasis agama (Islam) berkoalisi dengan partai sekuler (Non Islam). “Politik Tak Tis,” lebih kental dibandingkan “politik ideologis.”

Keberadaan Partai politik belum menjalankan fungsinya secara utuh dan maksimal. Partai Politik  berfungsi sebagai sarana Pendidikan politik, namun  kenyataanya, rakyat tak semakin cerdas dalam berpolitik. Moralitas politik semakin tereduksi oleh politik transaksional yakni mengambil suara rakyat secara tunai. Masih lebih banyak rakyat yang tidak melek politik dibanding rakyat yang sadar arti dari hak suara yang dimiliknya. Masih banyak rakyat yang rela menjual suaranya dengan harga 50–100 ribu.

Fungsi partai sebagai pencipta iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat hanya tertulis dalam lembaran kertas undang-undang sebab pada realitasnya justru partai politik jadi pemicu konflik dalam masyarakat.
Cita-cita luhur kehadiran partai politik untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, baru sebatas cita-cita namun entah kapan itu bisa terwujud. Wallahu’alam.

*Pemerhati Sosia,Kebangsaan dan Advokat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *