Oleh: Satrio Widianto*
Tahun 2018 telah kita lewati, dan kini berada di tahun 2019. Kita berharap di tahun yang baru ini, kehidupan kita dapat lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Kita ingin semua yang dicita-citakan dapat tercapai. Kita ingin kehidupan kita lebih berkualitas dan mempunyai masa depan yang cerah. Kekhawatiran demi kekhawatiran semoga semakin bisa ditekan sehingga kita dapat menjalani hidup dan kehidupan ini lebih tenang dan nyaman. Mungkinkah?
Jawabannya, tentu bisa ya atau tidak. Bisa mungkin atau tidak mungkin. Bagi yang berpandangan positif dan bersikap optimis, jawabannya adalah sangat mungkin. Sebaliknya, bagi yang berpandangan negatif dan bersikap pesimis, jawabannya adalah tidak mungkin bahkan sangat tidak mungkin.
Terlepas dari itu semua, faktanya kita kini mempunyai program jaminan sosial. Meskipun kita tidak mungkin terbebas dari risiko sosial seperti kecelakaan, pemutusan hubungan kerja, kematian, dan menghadapi hari tua dan masa pensiun, tentunya dengan adanya jaminan sosial maka dampak negatif yang ditimbulkan akan semakin kecil. Kita dapat terus berjalan dan melaksanakan segala aktifitas dengan penuh percaya diri.
Berkaca pada perjalanan kita selama 2018, betapa bencana demi bencana serta musibah transportasi datang silih berganti. Ada bencana alam gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kemudian, gempa bumi di Palu yang disertai tsunami dan fenomena alam likuifaksi, dan di akhir tahun terjadi tsunami yang melanda Selat Sunda meliputi daerah di Banten dan Lampung. Bencana alam itu menelan banyak korban meninggal dunia dan luka-luka.
Belum lagi kecelakaan Kapal Motor (KM) Sinar Bangun di Danau Toba dan jatuhnya pesawat Boeing 738 Max 8 yang dioperasikan maskapai Lion Air nomor penerbangan JT 610 di perairan Tanjung Pakis, Kabupaten Karawang. Musibah ini juga menelan korban yang tidak sedikit. Musibah Lion Air malah menyebabkan tewasnya seluruh penumpang dan krunya yang berjumlah 189 orang.
Kejadian-kejadian yang sangat memilukan sungguh tidak kita inginkan, namun faktanya itu terjadi. Air mata kita seakan kering dan hati tersayat-sayat dengan adanya rentetan musibah itu. Seraya terus berdoa dan berharap semoga musibah itu dijauh dari kita, kita pun ingin ada penanganan yang segera dan uluran tangan untuk para korban dan keluarga yang ditinggalkan. Di sinilah jaminan sosial menjadi sesuatu yang sangat diperlukan.
Masyarakat kita kini semakin tahu bahwa jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia yahun 1948 fan Konvensi International Labour Organization Nomor 102 tahun 1952.
Hal itu terutama bidang kesejahteraan sosial yang memperhatikan perlindungan sosial atau perlindungan terhadap kondisi yang diketahui sosial termasuk kemiskinan, usia lanjit, kecacatan, pengangguran, keluarga dan anak-anak, dll. Hal itu semua ada dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Oleh karena itu, ketika ada perusahaan yang tidak mengikuti program jaminan sosial akan sangat aneh. Begitu juga akan sangat mengherankan jika ada perusahaan yang asal-asalan dalam mengikuti program jaminan sosial sebagai formalitas belaka. Hal ini seperti terungkapnya praktik Perusahaan Daftar Sebagian (PDS) upah yang dilakukan maskapai Lion Air terhadap pilot dan pramugarinya.
Pada saat pendataan siapa saja ahli waris korban yang berhak mendapat santunan dari BPJS Ketenagakerjaan, diketahui ternyata pilot asal India dilaporkan hanya bergaji Rp 3,7 juta, kopilot Rp 20 juta dan pramugari Rp 3,6 juta. Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa pilot adalah salah satu jenis favorit karena bergaji besar. Kalau dilaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan hanya Rp 3,7 juta maka sudah kelihatan kebohongannya. Apalagi diberitakan, gaji Bavye Suneja itu sebesar Rp 135 juta.
Konsekuensi dari pelaporan upah yang hanya sebagian itu tentu berakibat pada berkurangnya manfaat yang akan diterima peserta dan ahli waris peserta, baik dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP). Misalnya, midalnya gaji pilot asing berupa take home pay sebesar Rp 100 juta tapi dilaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan hanya Rp 3,7 juta. Maka jika peserta itu mengalami kecelakaan yang menyebabkan meninggal dunia, akan berdampak kekurangan manfaat yang diterima ahli waris dari program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
Perhitungannya, dengan gaji yang dilaporkan Rp 3,7 juta maka santunan yang diterima adalah 48 x Rp 3,7 juta = Rp 177, 6 juta. Sedangkan, jika gaji yang dilaporkan Rp 100 juta maka perhitungannya adalah 48 x Rp 100 juta = Rp 4,8 miliar. Jauh benar bedanya. Di sini jelas terlihat, selisih manfaat yang diterima adalah Rp 4,8 miliar – Rp 177,6 juta = Rp 4,622 miliar.
Pada manfaat program Jaminan Hari Tua (JHT) pun terlihat jauh beda. Dalam program JHT, perusahaan sebagai pemberi kerja setiap bulan membayarkan premi atau iuran 3,7 persen dari gaji yang dilaporkan. Sedangkan 2 persen lainnya dibayar oleh pekerja. Dalam hal ini, manfaat JHT yang dibayarkan perusahaan dengan gaji Rp 3,7 juta adalah 3,7 persen x Rp 3,7 juta = Rp 136.900. Sedangkan dengan gaji dilaporkan Rp 100 juta maka manfaat JHT dari perusahaan adalah 3,7 persen x Rp 100 juta = Rp 3,7 juta. Selisih manfaat yang seharusnya dibayarkan oleh perusaan setiap bulannya adalah Rp 3,7 juta – Rp 136.000 = Rp 3,56 juta.
Pada gilirannya, pelaporan upah yang salah dengan memperkecil akan membuat jumlah JHT lebih kecil dan dengan pengembangan sebesar 7 persen misalnya (lebih besar dari bunga deposito perbankan), total JHT yang diterima juga akan lebih kecil dari yang seharusnya. Ini kan merugikan peserta dan ahli warisnya. Di satu sisi, perusahaan bayar iurannya sedikit tapi yang terkena dampak adalah pekerjanya.
Padahal, jika perusahaan mendaftarkan dengan benar (tidak melakukan PDS upah) maka perusahaan sudah mengalihkan tanggung jawabnya kepada BPJS Ketenagakerjaan jika terjadi risiko sosial. Ini sesuai peraturan yang berlaku. Namun gawatnya, selain ada praktik PDS upah, ada juga PDS tenaga kerja, dan PDS program. PDS tenaga kerja, perusahaan hanya mendaftarkan sebagian pekerjanya menjadi peserta. Sedangkan, PDS program, perusahaan mendaftarkan pekerja sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan hanya sebagian program.
Solusi
Kita tentu sangat prihatin dengan kondisi itu. BPJS Ketenagakerjaan tentu tidak memiliki data riil gaji sesungguhnya dari setiap perusahaan. BPJS Ketenagakerjaan hanya menerima laporan dari perusahaan. Yang memiliki data gaji tentu perusahaan yang bersangkutan dan pekerjanya. Namun, BPJS Ketenagakerjaan patut bertanya dan mengingatkan atas dasar peraturan yang berlaku. Selain itu, mekanisne pelaporan jika ada penyimpangan harus berjalan efektif.
Peserta harus terus didorong untuk mengecek saldo JHT dan besaran upah yang dilaporkan serta jumlah tenaga kerja. Caranya, dengan men-download dan meng-install aplikas BPJSTK Mobile. Laporan dari peserta tentang ketidakpatuhan perusahaan cukup ampuh. Peserta pelapor tidak usah takut karena penyampaian pesan dilakukan secara anonim, sehingga kerahasiaan identitasnya terjamin.
Selain pelanggaran PDS upah, PDS tenaga kerja, dan PDS program, banyak juga perusahaan yang bandel tidak mendaftarkan sebagai peserta. Perusahaan penunggak iuran juga masuk dalam masalah yang harus ditertibkan. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, pelanggar selain disetop untuk mendapatkan pelayanan publik, juga bisa diseret ke penjara maksimal 8 tahun penjara atau denda Rp 1 miliar.
Hal ini jika dilaksanakan secara konsisten amaka bisa menimbulkan efek jera. Pengusaha akan berpikir lagi untuk tidak melanggar. Jika dibiarkan dan tidak ada peringatan bagi pelanggar, PDS upah dan pelanggaran lainnya bisa menjadi bom waktu bagi pekerja. Pekerja bisa marah dengan cara membabi buta melampiaskan kemarahannya atau dengan cara menggugat ke pengadilan.
Lebih baik
Indonesia yang sudah berusia 74 tahun dan BPJS Ketenagakerjaan yang berusia 41 tahun pada 5 Desember 2018 lalu, memang masih tertinggal dalam penyelenggaraan jaminan sosial bagi penduduknya. Hal ini jika dibandingkan dengan negara Eropa seperti Jerman dan Inggris. Di Jerman, jaminan sosial sudah ada sejak 1857, sedangkan di Inggris dimulai sejak 1930.
Meski jauh tertinggal, menurut Dirut BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto, kita harus optimis bahwa jaminan sosial di Indonesia dapat lebih baik. Kini, kita sudah memasuki di tahun 2019. Program jaminan sosial diharapkan terusn meluas dan makin banyak lagi pekerja yang dilindungi. Sepanjang 2018, pertumbuhan kepesertaan mencapai 30,5 juta pekerja yang merupakan peserta aktif. Sedangkan, total peserta BPJS Ketenagakerjaan pada 2018 ada 50,7 juta pekerja.
Pemerintah bersama BPJS Ketenagakerjaan tentunya terus memperbaiki aturan sehingga manfaat kepesertaan terus meningkat. Di Indonesia, selain kepesertaan terus didorong, kualitasnya pun mendapat perhatian serius. Harapannya, jumlah peserta meningkat dengan kualitas yang baik. Yang menjadi peserta harus mendapatkan hak-haknya secara normal sesuai aturan yang berlaku.
Kini, kita sudah memasuki di tahun 2019. Program jaminan sosial diharapkan terusn meluas dan makin banyak lagi pekerja yang dilindungi. Sepanjang 2018, pertumbuhan kepesertaan mencapai 30,5 juta pekerja yang merupakan peserta aktif. Sedangkan, total peserta BPJS Ketenagakerjaan pada 2018 ada 50,7 juta pekerja. Dengan pemahaman yang sama, diharapkan pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia terus membaik dan menjadi model bagi negara lain. Dengan begitu, ke depan tidak ada lagi bom waktu yang siap meledak. Yang ada adalah rasa nyaman, rasa tenang, rasa bangga dan selalu optimis memandang masa depan. Seberat apapun masalah yang ada, maka dengan adanya jaminan sosial, semua masalah bisa diselesaikan dengan baik.
* Wartawan senior