Santri dan Strawberry Generation

Oleh: Mahdi Kherid*

Minggu (20/10) Presiden Ir H Joko Widodo dan Wakil Presiden Prof Dr KH Ma’ruf Amin dilantik. Dua hari setelah itu, atau Selasa (22/10), kita memperingati hari santri. Tentu, ini dua hari yang penting, khususnya bagi santri.

Dua hari ini semakin spesial, karena wakil presiden yang dilantik untuk lima tahun kedepan adalah seorang santri tulen. Jabatan terakhir Prof Dr KH Ma’ruf Amin adalah Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kini, KH Ma’ruf Amin masih menjadi bagian dari Rais Syuriah PBNU.

Bagi warga NU, yang merupakan representasi dari santri di negeri ini, dilantiknya KH Ma’ruf Amin adalah kebahagiaan dan juga kebanggan. Ini juga membuktikan kalau santri sebenarnya tidak kalah bersaing dengan generasi lain di negeri ini. Meskipun, wakil presiden sebelumnya yakni Jusuf Kalla, sebenarnya juga petinggi PBNU. Tapi, tentu saja KH Ma’ruf Amin dalam hal ini tingkat santrinya lebih kental. Sedangkan Jusuf Kalla selama ini lebih dikenal sebagai saudagar dan politisi.

Mengutip sebuah khutbah dari ustadz Yusuf Mansyur, sejatinya umat Islam, khususnya santri, sudah saatnya mengisi pos-pos penting sebagaimana yang diisi oleh KH Ma’ruf Amin. Santri yang selama ini menjadi entitas dari keagungan akhlak, akan menjadi solusi bagi bangsa ini, yang tingkat korupsinya masih sangat besar.

Apalagi, santri sebenarnya mempunyai kekuatan untuk menguasai dua hal yang tidak boleh kita tinggalkan yakni dunia ekonomi dan dunia politik. Untuk menguasai dua hal itu, kita perlu akrab dengan kesulitan. Lantaran, kesulitan akan menempa kita, sedangkan kemudahan akan memanjakan kita.

Sedangkan santri, dibandingkan dengan generasi lain yang tidak pernah menjadi santri, salah satunya adalah santri dididik dengan kesulitan hidup dan kedisiplinan. Dari pagi buta, santri harus bangun untuk shalat subuh, atau mungkin bangun sebelum adzan subuh untuk shalat tahajud.
Setelah subuh, santri mengaji. Lalu, di lanjut sekolah. Setelah sekolah, istirahat siang sebentar, santri mengaji lagi, hingga malam. Begitu terus siklusnya. Disiplin dibentuk, nalar diasah, dan hati dihidupkan dengan dzikir oleh santri.

Sedangkan generasi yang tidak santri, tentu kita tidak tidak bisa menyimpulkan mereka selalu hidup enak. Tapi, dengan menjadi santri, anak-anak kita akan lebih terdidik, dan tentu saja mandiri. Apalagi, kalau kita membahas soal tirakat, saya kira santri lebih unggul.

Dengan tirakat, sejatinya santri sedang menunda kesenangannya, untuk kesenangan yang lebih di massa depan. Semisal tirakat yang paling sederhana, adalah puasa Senin-Kamis, maka santri sudah berlatih bagaimana jika kita mendapati susahnya hidup. Selain itu, dengan puasa Senin-Kamis, secara otomatis sudah menjaga kesehatannya.

Dengan membentuk santri yang tangguh, tentu ini sudah menghilangkan rasa khawatir sejumlah pengamat tentang generasi milenial. Yang kata mereka, generasi milenial adalah generasi yang lembek, kuto loncat, egois, terlalu banyak menuntut hak, manja, dan aneka macam tudingan lainnya.

Ahli managemen Rhenald Kasali menyebut generasi ini dengan sebutan Strawberry Generation. Layaknya strawberry, generasi ini enak dipandang, tapi sebenarnya rapuh. Mereka mudah menyerah, tidak punya daya tahan, dan lain sebagainya.

Dengan pendidikan pesantren yang teruji kurikulum-nya, penulis yakin generasi milenial tidak akan menjadi Strawberry Generation. Tapi, menjadi generasi milenial yang tangguh, dan tak mudah mengeluh. Dengan kelebihan yang dimiliki generasi milenial, yakni kreativitas, jika dipoles dengan baik di pesantren, penulis yakin akan banyak lahir KH Ma’ruf Amin yang lain di massa mendatang.

Kepada pesantren dan santri, kita patut berbangga, sekaligus menaruh harapan.

* Politisi Muda, Tinggal di Pasuruan, Jawa Timur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *