JAKARTA (iHalal.id) — Melihat wajah Perum PPD hari ini seakan tidak percaya. Perusahaan plat merah, yang begitu terpuruk dan bahkan sudah dianggap bangkrut, ternyata dapat bangkit dan bahkan kembali berjaya menguasai jalanan di Ibukota.
Tahun 1990-an dan 2000-an, wajah PPD selalu saja kental dengan citra sebagai perusahaan merugi besar, pelayanan buruk dan sering diwarnai demo pegawai.
Persoalan yang membelit BUMN itu terbilang kompleks, dari masalah SDM, gaji rendah, kebocoran keuangan, kondisi armada, inefesiensi, hingga utang menumpuk. Perusahaan ini pun kedodoran membayar gaji 11.000 pegawai dan uang pensiun.
Untuk menutupi pembayaran utang, gaji dan pensiun, Perum PPD dipaksa menjual asset. Walhasil, sejumlah lahan depo dilepas. Antara lain lahan kantor pusat di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, ‘terpaksa’ dibeli PT Angkasa Pura II.
Kantor pusat PPD lalu pindah ke depo di pertigaan Halim Perdanakusuma. Fakta menunjukan kantor pusat, yang belum lama dibangun dan ditempati, itu kembali dijual ke grup Blue Bird. Kantor pusat kembali pindah. Depo Cawang menjadi pilihan.
Asset satu persatu lepas namun persoalan tidak lenyap. Tetap saja kesulitan membayar utang, gaji dan pensiun. Fakta ini mengakibatkan aksi pegawai menuntut haknya pun kembali marak.
Pemerintah pun cenderung ‘lepas handuk’ terhadap Perum PPD. Akibatnya muncul gagasan Perum PPD digabung dengan Perum DAMRI, digabung dengan Perum DAMRI dan PT Pos Indonesia, dijual ke Pemprov DKI Jakarta, bahkan ada pilihan melikuidasi.
Amanat untuk melikuidasi Perum PPD antara lain disematkan kepada Pande Putu Yasa saat memimpin BUMN itu mulai tahun 2012.
Pria, yang berkarier sepanjang hidupnya di Perum PPD, tersebut tampaknya mengalami konflik batin mendapatkan tugas itu.
“Saya ditugaskan memproses penutupan Perum PPD, dan menjual asset untuk menutupi biaya sebagai efek dari likuidasi. Batin saya tak bisa menerima.
Perusahaan tempat saya mengabdi selama ini harus ditutup dan saya yang ditugaskan memprosesnya. Belum lagi saya harus menjual asset, yang bukan tidak mungkin membuka peluang bagi saya terseret kepada persoalan hukum,” ungkap Direktur Utama Perum PPD, Pande Putu Yasa, dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (24/3/2019).
Tekad untuk menyelamatkan Perum PPD ditranformasi oleh Putu Yasa dengan menggelar sejumlah agenda perbaikan terbilang radikal. Dia mengobarkan semangat pegawai untuk menyelamatkan perusahaan tempat mereka mencari nafkah dan menghidupi keluarga.
Penentangan keras dari sejumlah pegawai bermunculan. Mereka pesimistis PPD dapat diselamatkan karena kondisinya sudah teramat parah. “Namun saya yakinkan mereka bahwa kita harus bisa menbangun lagi PPD. Perbaikan dengan kesisteman, terukur, sistematis dan terkontrol dengan baik harus diyakni dapat menyelamatkan PPD,” cetusnya.
Perbaikan PPD digenjot Putu juga melalui komunikasi intensif dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan. Meyakinkan bahwa PPD masih dapat diselamatkan. “Ternyata kami mendapatkan dukungan luar biasa dari Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan,” ungkapnya.
Aksi bermutu seorang Putu ternyata membuahkan hasil bagus.
Menjungkirbalikan anggapan negara banyak orang, termasuk pesimisme pegawai. Dia memghadirkan semacam keajiban terhadap PPD.
Perum PPD kembali menggeliat, bahkan meraih posisi lagi sebagai ‘Raja Jalanan.’ Dari jarang terlihat di jalanan Jakarta, kini berseliweran di kawasan Jabodetabek.

“Dalam operasional bus ini, kami dibantu betul oleh Dirjen Perhubungan Darat dan Badan Pengelola Transportasi Janodetabek (BPTJ). Dengan 1.000 bus saat ini, kami tak hanya mengoperasikan bus Transjakarta, tetapi juga JR Connexion dan JA Connexion, yang melayani publik dari permukiman dan pusat perbelanjaan ke lokasi lain, termasuk Bandara Soekarno-Hatta,” jelasnya.
Dari sekitar 1.000 bus, dia mengungkapkan sebanyak 495 armada melayani 34 rute Transbusway melalui konyrak dengan PT Transjakarta. Perum PPD juga mengoperasikan bus Transjakarta Premium.
Dipimpin Putu Yasa, Perum PPD tidak hanya menggebrak kawasan Jabodetabek, tetapi juga ekspansi ke wilayah lain, termasuk Karawang. Ekspansi bisnis ini bekerja sama dengan sejumlah pengembang, termasuk Adhi Karya dan Podomoro Group.
Performansi dahsyat PPD mengundang pengembang sentra bisnis dan operator bus mengajukan proposal kerja sama. Bahkan di antaranya menawarkan kesempatan untuk mengoeprasikan bus di Kepulauan Riau.
“Kami memang ingin terus memperluas wilayah bisnis. Kami bahkan sedang mempersiapkan angkutan pariwisata dan logistik. Marketnya sangat besar,” jelas pria tersebut.
Mengkilatnya kinerja operasional dan ekspansi bisnis diiringi dengan lezatnya kinerja keuangan. Laba diraih hanya dalam tempo setahun setelah agenda penyehatan digelar.
Tahun 2013 menjadi tonggak penting dan sekaligus titik balik dari rugi miliaran rupiah menjadi meraih untung sekitar Rp 158 juta. Kinerja mengkilat keuangan terus menanjak. Tahun 2014 meraih Rp 280 juta, 2015 Rp 2,19 miliar, 2016 Rp 9 74 miliar, 2017 Rp 3,38 miliar dan tahun 2018 Rp 18.52 miliar.
Prestasi itu dipuji Dwi Wahyono, yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama Perum PPD. “Saya salut kepada Pak Putu dapat membangun PPD seperti ini. Sangat maju,” tutur Dwi Wahyono.
Dia mengutarakan pada era kemimpinannya, terdapat sekitar 1.000 bus dengan 11.000 pegawai. Dengan demikian, rasio pegawai 1:11. Artinya satu bus ‘menghidupi’ sebelas pegawai. “Pada saat itu, saya dapat mencapai laba operasi, gaji pegawai dibayar tepat waktu, THR dibayar penuh, dan dapat mencicil pembayatan tagihan kepada supplier. Itu tanpa menjual asset,” jelasnya.
Kondisi sekarang, dia menuturkan ada 1.000 bus PPD dengan jumlah pegawai sekitar 400 orang. “Membalikkan rasio pegawai ini merupakan prestasi tersendiri Pak Putu. Sangat tidak mudah mengurangi jumlah pegawai,” ujar Dwi Wahyono.
Hal senada dikemukakan Kepala BPTJ Bambang Prihartono. “Memang di PPD terjadi lompatan sejarah berupa melonjaknya performansi. Dan itu patut diberi dua jempol. Keren!” cetusnya. (Sat)