JAKARTA (iHalal.id) — Indonesia sedikitnya membutuhkan 27 ribu tenaga auditor halal untuk memeriksa sedikitnya 38 juta jenis obat, makanan, barang konsumsi (barang pakai—red.) hingga jasa yang di tanah air. Oleh karena itu, presiden diminta segera menandatangani PP (Peraturan Pemerintah) untuk UU No. 33 tahun 2014 tentang JPH (Jaminan Produk Halal), agar ada kepastian hukum, khususnya bagi kalangan Umat Islam umumnya bagi kalangan pelaku industri.
Hal itu diungkapkan Dr. Muhamad Yanis Musdja, M.Sc., Ketua YPHI (Yayasan Produk Halal Indonesia), dalam seminar nasional apoteker yang bertajuk “Implementasi Halal Pada Penggunaan Excipient Kosmetik Di Era Digital Bidang Kefarmasian”, yang diselenggarakan kampus ISTN (Institut Sains dan Tekonologi Nasional) Jakarta, Sabtu (4/05). Yanis Musdja yang juga dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, menambahkan, peran apoteker sangat strategis dalam industri halal, selain dibutuhkan sebagai tenaga auditor halal, apoteker juga bisa mendidik auditor internal perusahaan dan auditor penyelia sebagai petugas pendamping auditor internal perusahaan.
“tentu, keberadaan tenaga apoteker ini sangat strategis dalam Industri Halal sebagai manifestasi pelaksanaan UU No. 33 tahun 2014 tentang JPH”, jelas Yanis kepada iHalal.id. Presiden Jakowi dapat menanda tangani PP UU JPH secepatnya, karena menurut UU JPH wajib sertifikasi Halal harus sudah mulai diberlakukan pada tanggal 17 Oktober 2019. Dalam hal ini setelah PP UU JPH ditanda tangani pleh Presiden diperlukan lagi pembuatan Peraturan Menteri Agama (PMA) untuk UU JPH No 33 thn 2014. Padahal waktu untuk pelaksanaan WAJIB SERTIFIKASI HALAL tinggal 4 bulan lagi (17 Oktober 2019).
Seperti diberitakan, untuk sektor Farmasi hampir 95% obat-obatan yang beredar (diproduksi—red.) di tanah air, belum memiliki sertifikat halal. Hal ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, disatu sisi masyarakat menuntut halal, namun disisi lain masyarakat terdesak dengan kondisi ingin sembuh. Oleh karena itu, Yanis minta pemerintah segera melalukan sertifikasi halal untuk sektor farmasi ini, hingga jasa yang ada di tanah air ditambah dengan produk-produk import berupa makanan, obat, kosmetika dan barang -barang yang dipakai oleh ummat juga harus HALAL.
Seperti diamanatkan UU JPH, guna memudahkan tugas Auditor Halal independen, setiap perusahaan dituntut memiliki beberapa petugas Auditor Halal internal. Dalam pelaksanaannya, petugas auditor halal internal tadi masih harus didampingi petugas Penyelia Halal hingga proses sertifikasi.
Berdasarkan UU No. 33 tahun 2014 tentang JPH, seluruh barang-barang yang dikonsumsi umat Islam harus disertifikasi ulang dibawah pengawasan BPJPH (Badang Pengelola Jaminan Produk Halal) Kementerian Agama RI (setingkat Direktorat Jenderal—red.). MUI berdasarkan UU baru tadi hanya mengeluarkan fatwa, jika ada masalah yang timbul dari hasil LPH (Laboratorium Pemeriksa Halal–red.).
Untuk biaya, Yanis mengingatkan agar pembuatan sertifikasi halal harus terjangkau. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan, biaya pembuatan, mungkin akan berbeda ditiap daerah. Oleh karena itu, Yanis mengajak partisipasi ormas Islam untuk mendirikan Laboratorium Pemeriksa Halal pusat maupun di daerah-daerah, melalui koordinasi BPJPH Kementerian Agama RI tadi. (Gaf)