oleh: Imam Shamsi Ali*
(Maaf agak panjang. Dibaca ketika waktu renggang aja).
Dalam seminggu ini dunia menyaksikan “madness” (kegilaan) yang tidak terkontrol. Saya katakan demikian karena di saat dunia masih berbelasungkawa atas sebuah musibah, musibah lain terjadi dengan korban yang lebih dahsyat.
Barangkali yang berbeda hanya respon dari dunia Internasional semata. Ada yang dihebohkan secara luar biasa. Ada pula yang dibiarkan berlalu biasa-biasa saja.
Di New Zealand menjelang Jumatan, dalam sekejap 50 orang lebih di habisi tanpa rasa (senselessly). Seorang terroris putih dari pengikuti “White Nationalist” atau penganut paham “White Supremacy” mendatangi sebuah masjid (CristChurch) dan menembaki mereka yang sedang melakukan ibadah.
Peristiwa kekerasan itu mengakibatkan 49 orang meninggal, dua lainnya menyusul di rumah sakit dan puluhan lainnya luka-luka. Banyak di antara yang luka ini berada pada titik kritis juga.
Secara iman kita terima ini sebagai sebuah ketentuan langit yang telah terjadi. Pahit dan perih! Tapi iman mengatakan “di balik semua peristiwa, bahkan yang terpahit pun pasti ada hikmahnya”. Karenanya posisi kita sebagai orang beriman adalah menerima dengan “hati yang penuh tawakkal”.
Namun demikian, hati kita menangis bahkan berdarah (bleeding) melihat realita pembantaian itu. Kesedihan itu karena saudara-saudara kita terbantai tanpa belas kasih (mercilessly). Mereka tidak melakukan apa-apa yang merugikan dan menyakiti orang lain.
Mereka terbantai hanya karena mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Perbedaan yang harusnya diterima sebagai bagian dari alam. Bahkan sesuatu yang selama ini oleh dunia yang beradab (civilized work) dipromosikan sebagai “keindahan” (beauty) dan kekayaan (treasure).
Pada saat semua masih bersedih, berbelasungkawa atas peristiwa New Zeland, tiba-tiba dunia juga dikejutkan oleh pemboman sebuah gereja Katolik di Phillipine. Kekerasan itu menelan 20 korban nyawa dan ratusan lainnya luka-luka.
Jika di New Zealand pelakunya adalah Kristen berkulit putih dan korbannya adalah Muslim, di Phillipine pelakunya mengaku Muslim dan korbannya adalah Kristen Katolik.
Di sinilah pentingnya ditekankan bahwa ketika sudah menyangkut hidup manusia, agama bukan pertimbangan terpenting. Ketika anda seorang Muslim dan kelaparan, sementara yang ada hanya daging babi, maka anda wajib menyelamatkan hidup anda dengan memakan babi itu. Itulah yang kita maksud hidup manusia itu di atas segalanya.
Karenanya korban terorisme tidak lagi dilihat kepada ikatan agamanya. Mereka adalah manusia yang punya hak hidup dengan kemuliaan.
Sebaliknya pelaku teror tidak lagi ada ikatan agama. Karena walaupun dalam aksi teror itu mereka mengaku melakukannya atas nama agama, kenyataannya agama telah mereka hinakan.
Sehari setelah di Philipine di Yaman juga terjadi kekerasan yang lebih dahsyat dan lebih syetan (jahat). Sebuah masjid di bom yang mengakibatkan terbunuhnya 130 orang dan puluhan lainnya luka-luka.
Peristiwa di Yaman ini dilakukan oleh mereka yang beragama Islam dan korbannya juga beragama Islam. Orang Islam membunuh orang Islam dalam masjid. Sebuah kekerasan yang berada di luar kemampuan daya nalar manusia untuk memahaminya.
Peristiwa terakhir ini sesungguhnya adalah bukti yang paling nyata di mata dunia bahwa “teror” itu tidak mengenal batas-batas. Tidak memilki batas ras, etnis, bangsa dan agama. Bahkan tidak beragama sama sekali.
Kalau ada teror yang mengenal agama kenapa mereka melakukan itu di rumah-rumah ibadah? Bukankah Islam (Al-Quran) mengharamkan pengrusakan rumah-rumah ibadah (sinagog, gereja, masjid, dan rumah ibadah apapun)?
Ancaman Global White Supremacy
Dalam tiga tahun terakhir ini penembakan atau pembunuhan yang terjadi di Amerika didominasi oleh mereka yang menyebut diri “White Supremacy” (keunggulan kaum berkulit putih”. Mereka biasanya juga dikenal dengan sebut “Right Wing radicals”.
Di tahun 2017 misalnya dari 23 kejadian pembunuhan atau penembakan massal di Amerika Serikat saja, 18 di antaranya dilakukan oleh kelompok yang dikenal dengan “White Nationalists” ini. Dan ditahun 2018 kecenderungan ini tidak berkurang tapi semakin menjadi-jadi.
Mungkin memori terdekat adalah penembakan pembunuhan jamaah Yahudi di Sinagogu Tree of life di Pittsburgh yang menelan puluhan nyawa warga Yahudi.
ADL, sebuah organisasi Yahudi yang mendedikasikan diri membela hak-hak Yahudi di Amerika dan dunia mengatakan bahwa di tahun 2018 lalu terjadi kenaikan pembunuhan terhadap Yahudi oleh kalangan Terorris Putih (White terrorists) di atas 48% ketimbang tahun sebelumnya.
Di tahun 2018 lalu menurut ADL juga dari 50 kasus penembakan atau pembunuhan 38 di antaranya dilakukan oleh kelompok White Nationalist. Pada umumnya penembakan atau pembunuhan itu dilakukan di rumah-rumah ibadah, seperti gereja, masjid dan sinagog.
Ancaman Global Serius
Pelaku penembakan umat Islam di New Zealand di tahun 2018 lalu melakukan perjalanan dan pertemuan dengan sesama kelompok White Supremacy di Eropa. Sejak itu rencana mass killing (pembunuhan massal) itu dimatangkan.
Artinya bahwa ancaman global terroris kaum putih (White Nationalist terrorists) bukan sebuah mitos. Tapi sebuah realita yang terang benderang di hadapan mata dunia. Bahkan boleh jadi akan menjadi ancaman yang lebih berbahaya dan lebih mengglobal daripada ancaman teroris ISIS.
Walaupun sangat mengejutkan bagi sebagian orang ternyata masih ada yang melihat bahwa White Nationalist ini bukan ancaman. Salah satunya adalah Presiden Amerika saat ini, Donald J Trump. Tapi untuk sebagian orang banyak hal ini bukan sesuatu yang mengejutkan sama sekali.
Posisi dan pandangan Donald Trump tidak mengejutkan karena memang sejak lama sejatinya memiliki pandangan yang sama dengan kelompok radical White Wing. Pandangan itu adalah bahwa saat ini kaum putih Eropa terancam oleh kaum yang berwarna (non putih).
Walaupun kelompok yang biasa disebut “people of color” ini mencakup semua non White, termasuk orang hitam dan Hispanic dan non White lainnya, orang Islam dan Yahudi berada di garda terdepan untuk menjadi musuh bebuyutan mereka.
Orang Yahudi menjadi musuh bersejarah sejak Hitler dikalahkan di Perang Dunia II. Kekalahan Hitler itu merupakan simbol “survival” kaum Yahudi yang dibenci oleh White Supremacy, Hitler’s followers (pengikut Hitler).
Sementara umat Islam, selain memang dianggap pendatang, kejayaan Islam di Eropa masa lalu bagi mereka adalah momok yang menakutkan. Ketakutan ini tentunya diperkuat lagi oleh hipotesis Hangtington yang mengatakan bahwa pada akhirnya Islam dan Barat akan bertabrakan (clash).
Kembali ke posisi Donald Trump yang tidak mau mengakui bahaya White Supremacy, sekali lagi bukan sesuatu mengejutkan. Posisi pribadinya memang sejak lama senyawa dengan kelompok White Nationalists bahwa Islam adalah ancaman. Sehingga Donald Trump berulang kali menyampaikan dengan ungkapan: “they hate us”.
Salah satu aktualisasi dari sikap dasar Trump kepada Islam ini adalah ketika pemerintahanya mencoba melarang orang Islam untuk masuk Amerika. Percobaan kebijakan ini dikenal dengan istilah “Muslim ban”.
Runyamnya, pandangan dan sikap yang demikian Presiden Amerika ini berdampak banyak kepada warna hubungan antar manusia. Hal ini dikarenakan oleh realita bahwa negara ini adalah negara super power dan banyak menentukan wajah dan prilaku di berbagai belahan dunia.
Maka jangan terkejut jika Mr. DT dalam banyak hal dijadikan sebagai “role model” (tokoh panutan) bagi kelompok radikal White Nationalists.
Hal lain dari keterkaitan antara pandangan White Supremacy dan kebijakan pemerintahan Donald Trump ada pada kebijakan imigrasinya. Sikap keras untuk menolak kehadiran imigran non White di Amerika terlihat dimulai dari penolakannya kepada pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika, hingga kepada usaha kerasnya untuk membangun pagar di perbatasan Amerika dan Meksiko.
Kebijakan itu sesungguhnya tidak terlepas dari kekhawatiran kaum White Nationalists bahwa Imigran akan segera mengambil alih bumi Eropa. Artinya kaum putih akan segera tergeser oleh kaum non putih. Kekhawatiran ini tertuang dengan jelas dalam manifesto yang dituliskan oleh teroris yang menyerang masjid di New Zealand.
Mereka yang biasa disebut “Right Wing Terrorists” ini manamakan diri dengan “reborn Knights of the Templar”, sebuah istilah yang asosiasinya ke perang suci masa lalu atau Crusade.
Dalam manifesto mereka ini ada tiga hal yang mungkin bisa menjadi perhatian sekaligus menjadi bukti ikatan antara kebijakan imigrasi Donald Trump dan mereka.
Pertama, disebutkan bahwa tujuan mereka adalah mengurangi tingkat imigrasi di daratan Eropa (Barat) dengan intimidasi dan eliminasi secara fisik (maksudnya pembunuhan atau pengusiran).
Kedua, dengan aksi mereka diharapkan umat Islam atau non putih imigran lainnya melakukan reaksi ekstrim sehigga pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk mengusir mereka dari daratan Eropa (Barat).
Ketiga, untuk memancing kekerasan dan serangan balik serta melakukan perbenturan antara kaum Eropa dan siapa yang mereka sebut dengan “invaders” (pendatang haram).
Konten manifesto ini jelas sejalan dan senyawa dengan kebijakan imigrasi Donald Trump. Sehingga Donald Trump sendiri dalam banyak kesempatan memakai kata “invaders” bagi pedatang. Berkali-kali. Kita dengarkan Donald Trump menyampaikan istilah “they invade us”.
Khusus untuk orang Islam Donald Trump menyampaikan dua kekhawatiran sekaligus. They hate us (ancaman idiologi). Dan they invade us (ancaman fisik). Maka wajar jika usaha melarang orang Islam masuk Amerika bukan hal yang mengejutkan sama sekali.
Ironisnya bagi kelompok White radicals ini orang Islam sudah ada dalam Amerika. Sehingga mereka hanya dapat menahan marah besar dan kebencian terbuka kepada umat ini.
Umat Islam Amerika tidak terintimidasi dan takut. Dalam pernyataan di sebuah acara “interfaith solidarity” di kota New York Saya sampaikan: “we are not we will never be intimidated. We are careful, but not fearful”.
Komunitas Muslim Amerika dengan terbuka dan tegas menyampaikan: “We are all Americans. We are here and we will not go where. We may be immigrants. But remember, you are also sons and daughters of immigrants. So let’s the Native Indian Americans to decide, who should stay and who should leave their lands”.
Kira-kira maknanya: kami semua adalah juga bangsa Amerika. Kita ada di sini dan akan tidak akan kemana-mana. Kita boleh jadi pendatang. Tapi ingat, anda juga adalah anak cucu para pendatang. Karenanya, biarlah bangsa asli Indian American yang memutuskan siapa yang boleh tinggal dan siapa yang harus hengkang dari bumi mereka.
Akhirnya wahai Amerika dan dunia. Mari kita hadapi musuh bersama ini. Ancaman kepada kemanusiaan kita bersama adalah ketakutan kepada perbedaan yang ada. Dan ketakutan itu dimulai dari ketidak tahuan kita tentang siapa yang kerap kita panggil “orang lain” (the other).
Solusi ditawarkan oleh Al-Quran: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang wanita. Lalu menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (beragam) untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang termulia di antara kalian di mata Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengawasi” (Surah 49:13).
Semoga dunia mampu membuka mata!
New York, 19 Maret 2019
* Presiden Nusantara Foundation