Oleh: Dr. Dhina Yuliana, S.E., M.Si*
Agustus selalu identik dengan semangat kemerdekaan. Bendera merah putih berkibar di setiap sudut, lomba dan kegiatan bersama digelar, serta suasana gotong royong terasa kuat. Inilah wajah pertama Indonesia: wajah yang penuh persatuan dan rasa syukur.
Namun, bulan yang sama juga memperlihatkan wajah lain. Gelombang protes meluas ke berbagai kota di luar Jakarta. Rasa ketidakpuasan masyarakat berujung pada penjarahan rumah tokoh, kerusuhan, dan pembakaran fasilitas umum. Fenomena ini bukan sekadar tindak kriminal, melainkan gejala sosial yang perlu dibaca lebih dalam.
Dalam kacamata sosiologi, aksi semacam ini dapat dijelaskan lewat teori deprivasi relatif—ketika masyarakat merasa tertinggal dibanding kelompok lain, meski tidak selalu miskin secara absolut. Penjarahan rumah pejabat menjadi simbol kemarahan terhadap ketimpangan yang makin nyata. Sementara pembakaran fasilitas umum mencerminkan kondisi anomie (Durkheim), ketika norma sosial melemah dan masyarakat menyalurkan frustrasi secara destruktif.
Dua wajah Indonesia ini memperlihatkan paradoks bangsa kita: di satu sisi kita merayakan kemerdekaan dengan penuh sukacita, tetapi di sisi lain masih menghadapi kegelisahan sosial yang serius. Kemerdekaan politik telah diraih sejak 1945, namun kemerdekaan sosial-ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Dalam situasi ini, kampus dan dunia pendidikan memiliki peran strategis. Perguruan tinggi bukan hanya tempat belajar teori, tetapi juga ruang menumbuhkan kepekaan sosial, kesadaran kritis, dan kemampuan generasi muda untuk ikut menyelesaikan persoalan bangsa.
Kemerdekaan sejati hanya akan terasa jika euforia perayaan dibarengi dengan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
