Komunikasi Pemimpin, Cermin Tafsir Rakyat

Oleh: Dr. Dhina Yuliana, S.E., M.Si*

Di era digital, satu kalimat dari pejabat publik bisa lebih berdampak dibanding satu lembar kebijakan. Ucapan yang salah tempat bisa segera viral, ditafsirkan berbeda, bahkan dipelintir. Akibatnya, legitimasi kepemimpinan bisa runtuh hanya dalam hitungan jam.

Masyarakat hari ini lebih kritis, lebih berpendidikan, dan punya akses luas untuk menilai apakah kata-kata pemimpin sejalan dengan kenyataan. Karena itu, kepemimpinan di era ini tidak hanya diukur dari kebijakan yang dibuat, tetapi juga dari cara berbicara dan menyampaikan pesan.

Melalui lensa sosiologi, bahasa pejabat adalah cermin kekuasaan. Pierre Bourdieu (1991) menegaskan bahwa gaya komunikasi lahir dari habitus dan modal simbolik. Artinya, publik tidak hanya mendengar isi pesan, tetapi juga menilai karakter dan sikap sosial pemimpinnya. Gaya bicara yang sederhana, empatik, dan berbasis data memperkuat legitimasi, sementara komunikasi yang elitis justru menciptakan jarak.

Risiko makin besar di media sosial. Seperti dicatat Manuel Castells (2009), kekuatan komunikasi digital mampu membentuk opini publik dalam waktu singkat. Algoritma mendorong pernyataan provokatif lebih cepat menyebar daripada klarifikasi resmi. Satu kalimat bisa menenangkan masyarakat, tetapi juga dapat memicu keresahan yang berujung pada runtuhnya kepercayaan publik.

Karena itu, komunikasi publik harus memenuhi tiga unsur utama: empati, data, dan arah yang jelas. Empati berarti mampu merasakan kegelisahan masyarakat dan menenangkannya. Data memastikan ucapan tidak sekadar retorika, tetapi punya dasar objektif. Sementara arah yang jelas menunjukkan bahwa komunikasi pejabat memberi harapan dan solusi, bukan sekadar wacana.

Goffman (1959) melalui konsep presentation of self mengingatkan bahwa pemimpin tampil bukan hanya sebagai individu, tetapi sebagai aktor sosial yang dipantau publik. Pemimpin yang konsisten menjaga komunikasi akan memperoleh legitimasi sosial yang kuat. Sebaliknya, pemimpin yang sering salah bicara berisiko kehilangan kepercayaan, meskipun kebijakannya sebenarnya baik.

Singkatnya, setiap kata pemimpin adalah kebijakan hidup yang selalu ditafsirkan rakyat. Dan di era digital ini, komunikasi empatik, berbasis data, serta menenangkan adalah modal sosial terpenting untuk menjaga legitimasi dan kepercayaan.

*Wakil Rektor II bid. Akademik Universitas UMMI Bogor

—————–
Daftar Pustaka
Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Cambridge: Polity Press.

Castells, M. (2009). Communication Power. Oxford: Oxford University Press.

Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Doubleday.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *