Oleh: Dr. Dhina Yuliana, SE., M.Si.*
Beberapa waktu terakhir, publik dikejutkan oleh peristiwa ambruknya bangunan masjid di salah satu pesantren besar di Indonesia.
Tragedi itu tidak hanya memunculkan duka, tetapi juga membuka ruang refleksi tentang bagaimana kehidupan pesantren, yang selama ini menjadi pusat nilai moral dan spiritual, dipahami dari sisi budaya dan sosialnya.
Di tengah perbincangan yang ramai, istilah barokah kembali mengemuka, sebuah keyakinan yang telah lama menjadi ruh kehidupan pesantren tradisional.

Barokah sebagai Warisan Budaya Pesantren Tradisional
Dalam kehidupan santri, barokah tidak hanya dimaknai secara spiritual, tetapi juga sebagai bentuk kepercayaan sosial yang menata hubungan antara guru, murid, dan masyarakat sekitar.
Kiai dianggap sebagai sumber ilmu sekaligus sumber keberkahan, tempat di mana para santri menggantungkan harapan, doa, dan restu.
Hubungan ini membentuk kultur khas yang menonjolkan hormat, kesabaran, dan ketulusan, nilai-nilai yang menjadi fondasi kehidupan di pesantren tradisional.
Antropolog Clifford Geertz dalam The Religion of Java menyebut pesantren sebagai lembaga yang menjaga keseimbangan antara pengetahuan agama, tradisi, dan tatanan sosial masyarakat.
Kepercayaan terhadap barokah dalam konteks ini dapat dipahami sebagai mekanisme budaya, cara komunitas pesantren memaknai keterhubungan antara upaya manusia, bimbingan guru, dan takdir yang lebih besar.
Perspektif Sosiologi: Kepercayaan, Struktur, dan Solidaritas
Dari sudut pandang Emile Durkheim, kepercayaan bersama seperti barokah berfungsi sebagai perekat sosial.
Ia menciptakan solidaritas mekanik, bentuk kebersamaan yang lahir dari kesamaan nilai, ritus, dan pandangan hidup.
Dalam lingkungan pesantren, solidaritas ini tampak dalam kedisiplinan, kepatuhan santri, dan rasa saling percaya di antara anggota komunitas.
Namun teori rasionalisasi Max Weber memberi sudut pandang berbeda.
Modernisasi mendorong masyarakat untuk berpikir lebih sistematis, efisien, dan teknis.
Ketegangan muncul ketika nilai-nilai spiritual seperti barokah berhadapan dengan tuntutan rasionalitas baru, misalnya dalam urusan tata kelola, pembangunan, atau pengambilan keputusan.
Pertanyaannya, bagaimana pesantren mempertahankan nilai luhur barokah tanpa menutup diri terhadap nalar kritis dan kehati-hatian modern?
Bagi sosiologi budaya, hal ini bukan pertentangan, melainkan proses penyesuaian nilai. Pesantren yang mampu mengartikan barokah bukan sekadar berkah spiritual, tetapi juga tanggung jawab sosial dan etis, sesungguhnya sedang memperkuat makna budaya itu sendiri.
Pesantren Tradisional di Persimpangan Zaman
Kini pesantren tradisional berada pada titik penting antara menjaga tradisi dan beradaptasi dengan zaman.
Dalam teori cultural resilience, komunitas dianggap tangguh bila mampu mempertahankan nilai lama sambil menyesuaikannya dengan konteks baru.
Nilai barokah, bila dipahami sebagai motivasi untuk berlaku hati-hati, disiplin, dan kolektif, justru menjadi kekuatan sosial yang relevan bagi masyarakat modern.
Pesantren tradisional memiliki potensi besar untuk menjadi model kearifan lokal yang berdaya lenting, tempat di mana spiritualitas dan rasionalitas tidak dipertentangkan, melainkan saling melengkapi.
Penutup
Konsep barokah dalam pesantren tradisional bukan sekadar keyakinan, melainkan sistem nilai yang mengatur perilaku, hubungan sosial, dan cara berpikir.
Menjaganya berarti memastikan bahwa tradisi keikhlasan dan kebersamaan tetap hidup, disertai kesadaran baru tentang tanggung jawab sosial dan profesionalisme. Dengan keseimbangan itu, pesantren akan terus menjadi pusat nilai-nilai moral dan budaya yang menebarkan keteduhan di tengah perubahan zaman. (red)

*Wakil Rektor II Universitas UMMI Bogor
—————-
Daftar Rujukan
Geertz, Clifford. The Religion of Java. University of Chicago Press, 1960.
Durkheim, Emile. The Elementary Forms of Religious Life. Free Press, 1912.
Weber, Max. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Routledge, 1930.
Hidayat, Komaruddin. (2004). Psikologi Beragama. Paramadina.
Madjid, Nurcholish. (1997). Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Paramadina.
Ziemek, Manfred. (1986). Pesantren dalam Perubahan Sosial. P3M Jakarta.












